Purple Bobblehead Bunny Back to My Body ~ Transient Piece of Life ~: Back to My Body

Newest Post

// Posted by :Unknown // On :Rabu, 19 Februari 2014

           
  Tetesan air hujan membasahi pipiku. Aku menatap kembali ke langit yang menangis. Tetesan demi tetesan terus berjatuhan, namun aku tak menghiraukannya. Aku tetap berjalan terus dan terus. Terkadang, aku juga berpikir apakan hidupku akan berubah?
                “Bisakah kau mendengarku?” tiba-tiba aku mendengar sebuah suara. Namun awalnya aku hanya menghiraukannya, lalu suara itu terdengar lagi, kini lebih dekat dan lebih jelas, “Bisakah kau mendengarku?”
“Siapa kau?”
“Kakak”
“Siapa kau? keluarlah”
“おねえーちゃん”[Onee-chan (kakak) ]
Aku tersentak kaget. Seorang anak kecil berdiri di depanku. Dia tersenyum aneh, wajahnya pucat dan dia membawa sebuah teddy bear. Dia melangkah menghampiriku lebih dekat dan mengulurkan tangannya, memberikan boneka itu padaku. Entah apa yang terjadi, aku menerima boneka itu. Anak kecil itupun tertawa senang dan berlar meninggalkanku. Akhirnya aku memutuskan untuk membawa boneka itu pulang.
                Malam hari mulai turun dan bulan mulai meninggi. Malam itu aku merasa taknyenyak dalam tidur, sampai pada pukul 03.04 dini hari, aku terbangun. Boneka teddy bear yang awalanya kutaruh di sebelahku menghilang. Aku turun dari tempat tidur, bermaksud untuk mencarinya, namun nihil. Aku tak menemukannya di mana-mana. Tiba-tiba, aku mendengar suara seorang anak kecil lagi. Dia menggunakan bahasa Jepang.
“おねえーちゃん。これが私。おねえーちゃん。身ってください。これが私。大ジョブです”
[“onee-chan. Kore ga watashi. Onee-chan. Mitte kudasai. Kore ga watashi. Daijobu desu” (“kakak. Ini aku. Kakak. Lihatlah. Ini aku. Jangan khawatir.)]
“Hentikan!”
Aku berteriak. Suara anak kecil itu berhenti. Namun hal aneh mulai terjadi. Di seuah sudut kamarku aku melihat sosok tubuh anak kecil mulai mendekat.
“おねえーちゃん?”
“Pergi! Apa yang kau inginkan?”
“Kakak. Ikutlah denganku,” kata gadis itu tersenyum aneh. Aku memberanikan diri untuk mendekatinya. Sekali lagi gadis itu tertawa dan dia muli meloncat keluar jendela. “Hey!” aku berteriak. Bagaimana mungkin seorang anak kecil meloncat keluar jendela seperti itu. Ia tak mungkin hidup, apalagi ini jendela lantai dua. Aku melihat ke bawah jendela. Anak kecil itu tak ada. Aku hanya berpikir kemana dia pergi. Belum sempat aku membalik badan, anak kecil itu sudah berdiri di belakangku dan selanjutnya mendorongku ke bawah. Aku hanya bisa melihat ke jendela di tempat gadis itu memperlihatkan wajah dan senyumnya, hal lain yang kulihat adalah gadis itu menjatuhkan sebuah batu yang lumayan besar ke arahku bersamaan dengan teddy bearnya dan semua berubah menjadi hitam.
                “Kapan di akan terbangun?” – “diamlah!” – “Makhluk itu benar-benar membuat masalah” – “Diamlah!” –“baik,baik..tak perlu menyentak,” aku mendengar dua orang sedang berbicara. Cahaya remang-remang memasuki mataku dan aku mulai melihat sosok-sosok yang sedang berbicara. Kini aku benar-benar membuka mataku. “Hey,hey dia telah bangun! Lihat, dia sudah bangun!” – “Ya, ya. Terserah kau saja,” dan seseorang dari mereka berdua cemberut. “Umm... Siapa kalian?” tanyaku. “Kami? Oh maksudmu aku? Aku adalah seorang aktris yang akan memenuhi dunia dengan wajah cantikku! Dunia adalah panggung pertunjukan!!” Aku melihatnya dengan ekspresi bingung.
 “Permisi, abaikan saja dia. Perkenalkan, aku Carmellos Wintersmith. Kami kemari untuk mengantarmu ke dunia Afterlife”
“Aftelife? Maksudmu?”
“Hantu itu telah membunuhmu”
“Hantu?”
“Ya. Yui, begitu kami menyebutnya. Dia sangat pintar mengatur strategi untuk membunuh manusia”
“Apa? Maksudmu anak kecil itu?”
“Ya, begitulah. Baiklah, ayo naik ke kapal dan kita berangkat! Dunia telah menungguku~” kata seorang yang lain sambil mengibaskan rambut merah panjangnya. Aku hanya diam dan mengikuti perinthnya.
                Kami bertiga sudah lama menaiki kapal itu dan telah mendengar semua celotehan pria umm.. wanita? Atau apa lah jenis kelaminnya itu. Namun, jujur saja, aku belum mengetahui nama orang berkepala merah itu. “Umm..maaf, tapi bolehkah aku bertanya? Apa kalian? Maksudku apa kalian juga hantu seperti Yui atau..” – “Oh, nona.. Kami adalah malaikat kematian. Kami akan menjemputmu ke dunia Afterlife saat kau mati~” Kata orang berkepala merah itu. “Destin, kumohon hentikan,” kata Carmellos. Destin? Kurasa itu namanya. Beberapa jam mungkin telah berlalu dan aku mulai melihat daratan. “Kita akan sampai,” kata Carmellos. Kami pun berlabuh di salah satu pinggiran danau di pulau kaki gunung itu. Kabut tebal menutupi permukaan danau. “Ikuti aku,” kata Carmellos. Aku tak berkata sedikitpun, hanya mengikuti langkahnya.
                Kami telah berjalan cukup jauh hingga mencapai sebuah bangunan gedung yang terlihat tua dengan lampu-lampu berwarna kuning di sekitarnya. “Tempat apa ini?” tanyaku. “The God of Death’s Office.” Jawab Carmellos. “maksudnya?” – “Oh, nona..setiap orang yang dikirim ke tempat ini akan diseleksi untuk masuk ke dunia Afterlife~” jawab Destin.  “maksudmu kita belum berada di dunia afterlife?” – “Ah..kau harus bersabar, nona. Semua ada wakrunya~” lanjut Destin. “Diamlah kalian,” kata Carmellos. Serentak kami berduapun diam.
                “Apa kalian telah membawanya?” tanya seseorang dari ruangan di seberang kami. “Ya. Dia di sini.” Seketika itu juga, seseorang keluar dari ruangan itu. Ia mengenakan baju seba hitam. “Ah..Reiko Nocrabell. Bagaimana? Apa kau suka tempat ini?” tanya orang misterius itu. “Oh..uh..ya. Bagaimana anda bisa mengetahui namaku?” – “Reiko, Reiko kecil..kami adalah malaikat kematian. Bagaimana kami bisa tidak mengetahui namamu?” tanya orang itu balik.
“Uh..jadi..”
“Jadi, mari kita selesaikan ini. Yui membunuhmu? Oh, kau sudah menjadi korban yang kesekian. Kami, khususnya aku akan menanyaimu beberapa pertanyaan.”
“Tunggu! Aku punya satu pertanyaan,”
“Baiklah”
“Ada beberapa hal yang belum kuselesaikan”
“Maksudmu?”
“Ya..kau tahu?Seperti sebuah cita-cita? Balas dendam? Atau semacamnya?”
“Biar kuberitahu, kau bisa melakukan itu semua. Tapi kau tidak akan kembali ke sana dengan tubuhmu”
“Maksudmu?”
“Kau akan menjadi hantu”
“T-tapi..aku aku belum siap dengan dunia Afterlife dan segalanya itu.”
“Itu bukan masalah kami”
“Tak bisakah kau melakukan sesuatu?”
“Tidak”
“Kumohon. Bantulah aku. Aku belum ingin mati. Aku akan melakukan apapun”
“Tidak bisa”
“Ayolah. Apa kau ingin imbalan? Sebutkan saja!”
“Imbalan tak ada gunanya bagi malaikat kematian seperti kami”
“Kumohon..”
Pria misterius itu diam sejenak, aku tak berhenti menatapnya. Akhirnya dia memutuskan; “Ada sebuah cara agar kau dapat kembali ke tubuh lamamu. Pergilah ke kota di seberang pulau ini. Temui orang yang bernama Van Hellen dan dia akan membantumu” – “Terimakasih,” jawabku dengan suara riang. “Tapi..” lanjutnya. “jangan sampai dia berhasil menjebakmu atau menaklukanmu” –“maksudmu?” – “kau akan mengerti, Reiko. Secepatnya. Lebih baik kau menyusun strategi untuk itu.” Aku diam memikirkan kata-kata orang misterius itu yang kini telah pergi ke balik ruangan itu lagi. “Kenapa kita tak berangkat?” tanya Destin. Dengan ketdakpastian, aku menganggukkan kepalaku.
                Beberapa jam mungkin telah berlalu. Setelah lama menaiki kapal tua itu, akhirnya kami sampai di sebuah pulau untuk dilabuhi. “Inikah tempatnya?” – “Hmm..kurasa iya~” jawab Destin. “Ayolah kalian. Cepat! Aku masih mempunyai pekerjaan lain,” kata Carmellos yang sudah berjalan lebih dulu. “Hey, Carmellos? Apa kau pernah ke tempat ini?” – “ya. Beberapa waktu lalu ada juga arwah yang masih ingin kembali ke tubuhnya” – “Lalu apa yang terjadi padanya?” – “Dia tertransfer ke dimensi lain” – “Bagaimna bisa?” – “itulah kenapa kita harus bisa menaklukkan pikirannya,” aku hanya diam. Bagaimana aku bisa menaklukkan pikrannya? Aku bahkan tak tau bagaimana Van Hellen. “Kita sampai,” kata Caemellos. Aku meneliti bangunan itu baik baik. Besar, kotor, tua, dan bercat hitam dari pagar sampai bangunannya. “Inikah?” tanyaku tak percaya. “Ayo masuk,” kata Carmellos mengabaikan pertanyaanku.
                Pikiranku terpaku,  Bagaimana aku bisa menaklukkan pikrannya? Aku bahkan tak tau bagaimana Van Hellen. Kakiku mulai gemetar melangkah ke rumah tua itu. Aku sampai di depan pintunya dan Destin membunyikan bel. Pintu besar itu langsung terbuka. Tanpa berkata apa-apa, Carmellos memasuki bangunan itu, diikuti dengan Destin dan aku yang terakhir. Aku melihat sosok manusia berdiri di ujung tangga mengenakan jubah hitam panjang. Aku kemudian berbisisk pada Destin, “Apa itu Van Hellen?” – “Dimana? Aku tak melihat apapun,”jawabnya. “Hati-hati. Van Hellen memiliki banyak jebakan di rumahnya. Itulah mengapa kita harus bisa mengalahkan pikiran dan menyusun strategi untuk melewatinya,” jelas Carmellos. Kata-kata Carmellos menyadarkanku bahwa yang kulihat tadi hanyalah ilusi. “Jangan dengarkan suara apapun, jangan ragu-ragu dengan langkahmu, jangan percaya pada penglihatanmu, jangan percaya pada pendengaranmu dan satu lagi yang paling penting, berhati-hatilah, jangan lengah, siapapun bisa terkirim ke dimensi lain termasuk juga kita, malaikat kematian,” jelas Carmellos. “Semua yang kita lihat di sini hanyalah ilusi. Van Hellen yang asli ada di ruangan tersembunyi,” lanjutnya.
                Beberapa menit kami berjalan, tiba-tiba terdengar suara alunan musik. “Jangan dengarkan alunan itu,” kata Carmellos. Aku langsung menutup telingaku, berusaha mengbaikan alunan itu. Sudah lama kami bertiga berjalan berkeliling di dalam rumah besar itu. Membuka tiap-tiap pintu di dinding-dinging tiap tingkatnya sampai akhirnya, kami menemukan sebuah pintu besar tersendiri di tingkat paling atas rumah itu. “Ayo masuk,” kata Carmellos. Aku dan Destin mengikutinya dari belakang.
                “Wah..wah..wah..siapa yang datang? Selamat untuk kalian,” kata seseorang setelah kami memasuki ruangan itu. “Van Hellen?” pikirku. “Benar sekali, nona,” kata orang itu tadi.
“Apa? Kau bisa membaca pikiranku?”
“Tidak. Aku hanya membaca ekspresimu. Apa yang kau inginkan?”
“Aku..aku ingin hidup kembali”
“Hidup kembali? Heheheh..menurutmu semudah itu?”
Aku hanya diam, tak tahu harus menjawab apa. Suasana menjadi hening, sampai Van Hellen berbicara lagi,”Baiklah, baiklah. Heheheh, aku akan membantumu,” – “Kau tidak akan menipuku,kan?” tanyaku. “Wah, kau memang gadis yang pintar. Aku sedang berbaik hati hari ini, jadi jangan menganggapku akan membohongimu. Heheheh.” Tentu aku tidak begitu percaya pada perkataannya, namun bagaimanapun juga aku tetap mengandalkan kemampuannya. Van Hellen berjalan mundur dan duduk di kursi besarnya, kemudian membuka sebuah buku. Angin mulai bertiup kencang seakan ingin membawaku. Pandanganku mulai kabur.
                “Reiko! Reiko! Cepatlah! Kau akan terlambat!” aku mendengar ibuku berteriak. Aku langsung membuka mataku. “Apa? Apa itu tadi mimpi? Setiap halnya terasa nyata” pikirku. Kulihat ke samping tempat tidurku, tak ada boneka teddy bear di sana. Aku cepat-cepat memeriksa ke luar jendela, namun tidak mendapati apapun. Aku makin bingung apa yang terjadi, namun biarlah bahkan pengarang cerita inipun bingung mau dibawa kemana cerita ini. :P

// Copyright © 2012 ~ Transient Piece of Life ~ //Anime-Note//Powered by Blogger // Designed by Johanes Djogan //