Purple Bobblehead Bunny ~ Transient Piece of Life ~: Original Character ~ Transient Piece of Life ~: Original Character

Newest Post

Tampilkan postingan dengan label Original Character. Tampilkan semua postingan


“Akankah suatu saat aku berubah?”

                “Tak menyukai siapapun?” tanya Revi meyakinkan. “Ya, tak siapapun,” kataku masih berbohong. Kata-kata di dalam hatiku sudah menari-nari, memaksaku mengakui perasaan ini. Tidak, aku belum bisa. “Jadi, maukah kau..menjadi kekasihku?” tanya Revi mengagetkanku.
“A-apa?”
“Kau masih tak mengerti? Maukah kau menjadi kekasihku?”
“Mmm..aku..tapi aku belum ingin..”
“Nelia. Kumohon..”
Aku sudah berjanji dulu, aku tak akan menerima siapapun sebelum Calvin benar-benar bisa kulepas. Tapi, apa sekarang sudah saatnya? Jika ya, kenapa aku masih merasa sakit saat aku melihatnya dengan Stella? “Maaf, Revi. Aku belum bisa,” kataku. “Tapi..” – “Aku akan memberitahumu jika aku siap,” kataku tersenyum sembari meninggalkannya. Kulihat juga Revi tersenyum padaku, melihat harapan rahasia yang entah kapan datangnya.
                Aku berlari kembali menuju pantai. Kulihat Afika, Stella dan Calvin melambai ke arahku, memanggilku untuk mendekat. “Hey, dimana Revi?” tanya Calvin. “Dia? Oh, dia tadi ke super market membeli minuman,” kataku. Sakit..meski aku hanya melihat Calvin dan Stella duduk bersebelahan sambil bercakap-cakap satu sama lain, tapi perasaan ini selalu menekanku. “Nelia, bisa antarkan aku sebentar?” tanya Stella. “Oh, tentu,” jawabku. Kami berjalan menjauhi Afika dan Calvin, sepertinya menuju ke kamar mandi. Sesampainya di sana, Stella langsung menarikku ke sudut tembok. “Apa yang kau inginkan?” tanyanya tiba-tiba. “A-apa maksudmu?” tanyaku tergagap.
“Apa maksudku? Kenapa kau selalu mengamati Calvin? Kau tahu, dia merasa terganggu!”
“Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku tak pernah bermaksud mengamatinya”
“Terserah, ada hal yang bisa kau lakukan”
“…”
“Jauhi Calvin, jauhi kehidupan kami”
Jauhi Calvin? Apa aku bisa? Stella terlihat meninggalkanku sendirian. Aku terjatuh lemas di lantai. Kata-katanya masih menggema di telingaku. “Jauhi Calvin,” tapi apa aku bisa?
                Mentari sore terbenam, meninggalkan sakit hati yang mendalam. Kutatap langit malam, senandung nada semu yang keluar dari mulutku membuatku semakin ingin menangis. “Nelia? Kau menangis?” tanya Calvin. Aku melihat ke arahnya sejenak, teringat oleh permintaan Stella. Aku berlari secepat mungkin, meninggalkannya sendirian. Bodoh! Kenapa aku malah ingin bersamanya? Kuhentikan langkahku. Aku sendiri sekarang. Di seberang, kulihat Afika menatap ke arahku. Aku menyongsongnya, memeluknya dan menangis di pundaknya. “Afika..” kataku sambil menangis. “Ada apa?” tanyanya bingung. “Stella..dia..dia..” aku tak sanggup mengatakannya, sakit hati yang dalam membuatku hanya bisa menangis. “Nelia?” suara Calvin terdengar di telingaku, aku menoleh ke belakang, kulihat Calvin berdiri bingung menatapku. Aku berusaha berlari, namun Afika menahanku. Memang, hanya menangis yang bisa kulakukan. “Nelia? Apa kau baik-baik saja?” tanya Calvin. Aku hanya diam saja. “Ada sedikit masalah. Tapi, semua akan baik-baik saja kok,” jawab Afika sambil menuntuknku ke kamar.
                Sesampainya di kamar, aku langsung menjadi. Tangaisan sudah tak bisa kubendung. “Afika..hiks..Stella..Stella,” aku tak bisa melanjutkan kata-kataku. “Sudahlah, Nelia,” hibur Afika sambil memeluku. Lumayan lama aku menangis dan sekarang akhirnya aku bisa mengentikan tangisanku. “Apa kau menu bercerita sekarang?” tanya Afika. Aku mengangguk. “Stella..Stella menyuruhku untuk menjauhi Calvin juga dirinya,” jelasku. Afika terdiam. Mungkin dia tahu perasaan Stella, bukan, aku juga tahu. Dia pasti tak ingin Calvin terlepas darinya.
                Malam itu aku tertidur di kamar Afika. Pikiranku masih tak tenang. Teringat semua kenangan menyakitkan di balik cahaya. Berteriak tentang masa lalu dari kejauhan. Mengapa aku masih mencoba menyayangi seseorang yang menyakitiku? Jam di dalam diriku telah berhenti sejak saar itu. Menghentikan perasaan di dalam diriku. Aku tak akan berubah.
Pagi itu aku sangat tak bersemangat, masih berusaha menghindari kedua Calvin dan Stella.  Sungguh menyakitkan ketika melihat mereka berdua dimana aku tak dapat mendekati mereka. Suaraku semakin semu, ditiup angin menjauh. Dilupakan oleh temanku sendiri. Aku berbalik dan menutupi telingaku, melupakan segala kesedihan itu.
                “Nelia, kereta pulang akan datang pukul 12.00 nanti, kita harus bersiap-siap,” kata Afika. “Ya,” hanya itu yang kuucapkan sambil memasukkan barang-barangku ke dalam koper. Di kereta, aku duduk bersama dengan Revi, di hadapanku ada Calvin dan Stella. “Aku mau ke toilet dulu,” kata Stella mengajak Afika untuk mengantarnya, menyisakan tiga orang, aku, Calvin dan Revi. Aku menatap ke luar jendela. Lautan biru terlihat luas, ombak datang menyapu pantai, mengingatkanku akan perkataan Stella di pantai itu. “Nelia? Kau menangis?” tanya Revi dan Calvin. “Ah, tidak. Hehehe,” jawabku sambil menghapus air mata yang tak sadar sudah menuruni pipiku. “Tidak, kau menangis,” kata Revi. Tidak, aku tidak apa-apa. “Sudahlah, jangan sok kuat, ada apa?” tanya Calvin. “jangan memutuskan aku lemah karena aku menangis,” gumamku, kemudian pergi menuju ke toilet. Aku menangis di dalam toilet kecil itu. Tak sanggup lagi menahan air mataku. Aku benar-benar cengeng. Aku tak bisa melepaskan Calvin meskipun tetap menyukainya juga menyakitiku. “Apa yang harus kulakukan?” gumamku.

Life’s Fortune (Pt. 2)

Rabu, 28 Mei 2014
Posted by Unknown


“ Aku tak ingin menjadi seperti seekor Burung Elang yang kuat perkasa ataupun kupu-kupu yang cantik. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri.”

                Kulihat kau sedang duduk memeluk lutut di sana, di sebuah gazebo di pantai itu, mengamati ombak yang datang menyapu pantai. Terbayang di benakku untuk mendekatimu dan berbincang-bincang denganmu. Namun sebelum aku sempat mendekatimu,  gadis itu datang, mengambil jalanku untuk mendekatimu. Aku mengejarnya, berusaha lebih dahulu menyongsongmu. “Calvin!” teriak gadis itu. Rambut hitam lurusnya tertiup angin dengan indahnya. Aku menghentikan langkahku saat kau menoleh ke arah kami. Rasa sakit timbul di dada saat gadis itu mendekatimu, tersenyum ke arahmu. Sebuah memori yang sudah lama ingin kulupakan sejak saat itu. Hanya umpatan-unpatan yang tak tega keluar dari mulutku.
                “Hahaha, aku sungguh tak pernah melihatnya sebahagia itu,” kataku menghibur diri sambil mendekati Calvin dan kekasihnya, Stella. “Hey, Nelia,” sapa Calvin yang sedang memeluk kekasihnya. “Omong-omong, aku mau menyiapkan makan malam dulu ya,” kataku sembari pergi meninggalkan mereka. Aku tak bodoh, oleh karena itu aku tahu apa yang kurasakan saat ini. Namun aku tak mau mengakuinya.
                Malam itu kami memasak babeque untuk makan malam. Kami sesungguhnya sedang menikmati liburan musim panas kami di salah satu pantai terdekat, menginap di sebuah resort sederhana di pinggiran pantai. Tentu, hanya ada lima orang di antara kami, aku, Calvin, Stella, Revi, dan Afika. Kami memang sering melakukan ini sejak masuk SMA. Hari telah makin larut, kami berenam memasuki kamar masing-masing dan mulai tertidur nyenyak.
                Mentari pagi yang ingin menyambutku gagal, didahului oleh Afika yang menggebyor air ke atas mukaku. “Afika!?” teriakku. “Ups, maaf..hehehe,” katanya polos. “omong-omong, Nelia..bagaimana perkembanganmu dengan Calvin?” tanyanya lagi. Jujur, aku tidak ingin mengakui hal ini. Bodohnya aku menyukai seseorang yang sudah memiliki orang lain di hatinya. Aku sempat bertanya kenapa aku tidak menyukai orang yang juga menyukaiku, Revi? “umm..sudahlah, aku tidak menyukai Calvin,” kataku. “Ayolah, aku tahu kau masih mengharapkannya. Kau tahu, tidak ada salahnya kau menyukai orang,” kata Afika lagi. “Tapi..Stella,” gumamku. “Meski dia sudah menyukai orang lain. Kau tahu, suatu saat keberuntungan hidupmu akan datang,” lanjut Afika tak menghiraukan gumamanku.
                Siang itu, kami melanjutkan liburan kami, sesekali aku melirik ke arah Calvin yang selalu bersama-sama dengan Stella. Meski mulutku mengakui aku tak menyukainya, namun dia terlihat seperti benda yang kusuka yang akan kulirik tiap saat ada kesempatan. “Nelia, mau main voli?” tanya Revi. “Tapi..yang lain mana?” tanyaku. “Iya, tunggu saja dulu. Omong-omong bisa antarkan aku ke super market di sana? Aku mau membeli minuman,” pintanya. “baiklah,” kataku menyetujui. Kami sudah beberapa meter dari pantai, namun bukan super market yang kutemui, sebuah tebing yang indah. Revi membalikkan badan dan mengatakan sesuatu padaku,
“Nelia..sebenarnya, aku telah menyukaimu sejak lama”
“eh?”
“jadi, apa kau juga merasakan hal yang sama terhadapku?”
“Aku..aku tak tahu”

Revi terdiam sejenak. Sepertinya ia berpikir. Aku tentunya hanya diam saja, kemudian, mulutku mengeluarkan kata-kata yang sebenarnya tak ingin kuucapkan. “Sesungguhnya..aku menyukai orang lain.” Revi tersentak kaget. “Siapa?” tanyanya. “Aku..aku tak menyukai siapapun,” kataku setelah tersadar kemudian menutup mulutku. Maaf, maafkan aku. Aku tak bisa mengakuinya. Aku tak ingin menyakiti temanku sendiri. Tidak Calvin maupun Stella. Aku akan melepaskannya meski aku ingin menjadi diriku sendiri.

Life’s Fortune

Senin, 19 Mei 2014
Posted by Unknown
           
  Tetesan air hujan membasahi pipiku. Aku menatap kembali ke langit yang menangis. Tetesan demi tetesan terus berjatuhan, namun aku tak menghiraukannya. Aku tetap berjalan terus dan terus. Terkadang, aku juga berpikir apakan hidupku akan berubah?
                “Bisakah kau mendengarku?” tiba-tiba aku mendengar sebuah suara. Namun awalnya aku hanya menghiraukannya, lalu suara itu terdengar lagi, kini lebih dekat dan lebih jelas, “Bisakah kau mendengarku?”
“Siapa kau?”
“Kakak”
“Siapa kau? keluarlah”
“おねえーちゃん”[Onee-chan (kakak) ]
Aku tersentak kaget. Seorang anak kecil berdiri di depanku. Dia tersenyum aneh, wajahnya pucat dan dia membawa sebuah teddy bear. Dia melangkah menghampiriku lebih dekat dan mengulurkan tangannya, memberikan boneka itu padaku. Entah apa yang terjadi, aku menerima boneka itu. Anak kecil itupun tertawa senang dan berlar meninggalkanku. Akhirnya aku memutuskan untuk membawa boneka itu pulang.
                Malam hari mulai turun dan bulan mulai meninggi. Malam itu aku merasa taknyenyak dalam tidur, sampai pada pukul 03.04 dini hari, aku terbangun. Boneka teddy bear yang awalanya kutaruh di sebelahku menghilang. Aku turun dari tempat tidur, bermaksud untuk mencarinya, namun nihil. Aku tak menemukannya di mana-mana. Tiba-tiba, aku mendengar suara seorang anak kecil lagi. Dia menggunakan bahasa Jepang.
“おねえーちゃん。これが私。おねえーちゃん。身ってください。これが私。大ジョブです”
[“onee-chan. Kore ga watashi. Onee-chan. Mitte kudasai. Kore ga watashi. Daijobu desu” (“kakak. Ini aku. Kakak. Lihatlah. Ini aku. Jangan khawatir.)]
“Hentikan!”
Aku berteriak. Suara anak kecil itu berhenti. Namun hal aneh mulai terjadi. Di seuah sudut kamarku aku melihat sosok tubuh anak kecil mulai mendekat.
“おねえーちゃん?”
“Pergi! Apa yang kau inginkan?”
“Kakak. Ikutlah denganku,” kata gadis itu tersenyum aneh. Aku memberanikan diri untuk mendekatinya. Sekali lagi gadis itu tertawa dan dia muli meloncat keluar jendela. “Hey!” aku berteriak. Bagaimana mungkin seorang anak kecil meloncat keluar jendela seperti itu. Ia tak mungkin hidup, apalagi ini jendela lantai dua. Aku melihat ke bawah jendela. Anak kecil itu tak ada. Aku hanya berpikir kemana dia pergi. Belum sempat aku membalik badan, anak kecil itu sudah berdiri di belakangku dan selanjutnya mendorongku ke bawah. Aku hanya bisa melihat ke jendela di tempat gadis itu memperlihatkan wajah dan senyumnya, hal lain yang kulihat adalah gadis itu menjatuhkan sebuah batu yang lumayan besar ke arahku bersamaan dengan teddy bearnya dan semua berubah menjadi hitam.
                “Kapan di akan terbangun?” – “diamlah!” – “Makhluk itu benar-benar membuat masalah” – “Diamlah!” –“baik,baik..tak perlu menyentak,” aku mendengar dua orang sedang berbicara. Cahaya remang-remang memasuki mataku dan aku mulai melihat sosok-sosok yang sedang berbicara. Kini aku benar-benar membuka mataku. “Hey,hey dia telah bangun! Lihat, dia sudah bangun!” – “Ya, ya. Terserah kau saja,” dan seseorang dari mereka berdua cemberut. “Umm... Siapa kalian?” tanyaku. “Kami? Oh maksudmu aku? Aku adalah seorang aktris yang akan memenuhi dunia dengan wajah cantikku! Dunia adalah panggung pertunjukan!!” Aku melihatnya dengan ekspresi bingung.
 “Permisi, abaikan saja dia. Perkenalkan, aku Carmellos Wintersmith. Kami kemari untuk mengantarmu ke dunia Afterlife”
“Aftelife? Maksudmu?”
“Hantu itu telah membunuhmu”
“Hantu?”
“Ya. Yui, begitu kami menyebutnya. Dia sangat pintar mengatur strategi untuk membunuh manusia”
“Apa? Maksudmu anak kecil itu?”
“Ya, begitulah. Baiklah, ayo naik ke kapal dan kita berangkat! Dunia telah menungguku~” kata seorang yang lain sambil mengibaskan rambut merah panjangnya. Aku hanya diam dan mengikuti perinthnya.
                Kami bertiga sudah lama menaiki kapal itu dan telah mendengar semua celotehan pria umm.. wanita? Atau apa lah jenis kelaminnya itu. Namun, jujur saja, aku belum mengetahui nama orang berkepala merah itu. “Umm..maaf, tapi bolehkah aku bertanya? Apa kalian? Maksudku apa kalian juga hantu seperti Yui atau..” – “Oh, nona.. Kami adalah malaikat kematian. Kami akan menjemputmu ke dunia Afterlife saat kau mati~” Kata orang berkepala merah itu. “Destin, kumohon hentikan,” kata Carmellos. Destin? Kurasa itu namanya. Beberapa jam mungkin telah berlalu dan aku mulai melihat daratan. “Kita akan sampai,” kata Carmellos. Kami pun berlabuh di salah satu pinggiran danau di pulau kaki gunung itu. Kabut tebal menutupi permukaan danau. “Ikuti aku,” kata Carmellos. Aku tak berkata sedikitpun, hanya mengikuti langkahnya.
                Kami telah berjalan cukup jauh hingga mencapai sebuah bangunan gedung yang terlihat tua dengan lampu-lampu berwarna kuning di sekitarnya. “Tempat apa ini?” tanyaku. “The God of Death’s Office.” Jawab Carmellos. “maksudnya?” – “Oh, nona..setiap orang yang dikirim ke tempat ini akan diseleksi untuk masuk ke dunia Afterlife~” jawab Destin.  “maksudmu kita belum berada di dunia afterlife?” – “Ah..kau harus bersabar, nona. Semua ada wakrunya~” lanjut Destin. “Diamlah kalian,” kata Carmellos. Serentak kami berduapun diam.
                “Apa kalian telah membawanya?” tanya seseorang dari ruangan di seberang kami. “Ya. Dia di sini.” Seketika itu juga, seseorang keluar dari ruangan itu. Ia mengenakan baju seba hitam. “Ah..Reiko Nocrabell. Bagaimana? Apa kau suka tempat ini?” tanya orang misterius itu. “Oh..uh..ya. Bagaimana anda bisa mengetahui namaku?” – “Reiko, Reiko kecil..kami adalah malaikat kematian. Bagaimana kami bisa tidak mengetahui namamu?” tanya orang itu balik.
“Uh..jadi..”
“Jadi, mari kita selesaikan ini. Yui membunuhmu? Oh, kau sudah menjadi korban yang kesekian. Kami, khususnya aku akan menanyaimu beberapa pertanyaan.”
“Tunggu! Aku punya satu pertanyaan,”
“Baiklah”
“Ada beberapa hal yang belum kuselesaikan”
“Maksudmu?”
“Ya..kau tahu?Seperti sebuah cita-cita? Balas dendam? Atau semacamnya?”
“Biar kuberitahu, kau bisa melakukan itu semua. Tapi kau tidak akan kembali ke sana dengan tubuhmu”
“Maksudmu?”
“Kau akan menjadi hantu”
“T-tapi..aku aku belum siap dengan dunia Afterlife dan segalanya itu.”
“Itu bukan masalah kami”
“Tak bisakah kau melakukan sesuatu?”
“Tidak”
“Kumohon. Bantulah aku. Aku belum ingin mati. Aku akan melakukan apapun”
“Tidak bisa”
“Ayolah. Apa kau ingin imbalan? Sebutkan saja!”
“Imbalan tak ada gunanya bagi malaikat kematian seperti kami”
“Kumohon..”
Pria misterius itu diam sejenak, aku tak berhenti menatapnya. Akhirnya dia memutuskan; “Ada sebuah cara agar kau dapat kembali ke tubuh lamamu. Pergilah ke kota di seberang pulau ini. Temui orang yang bernama Van Hellen dan dia akan membantumu” – “Terimakasih,” jawabku dengan suara riang. “Tapi..” lanjutnya. “jangan sampai dia berhasil menjebakmu atau menaklukanmu” –“maksudmu?” – “kau akan mengerti, Reiko. Secepatnya. Lebih baik kau menyusun strategi untuk itu.” Aku diam memikirkan kata-kata orang misterius itu yang kini telah pergi ke balik ruangan itu lagi. “Kenapa kita tak berangkat?” tanya Destin. Dengan ketdakpastian, aku menganggukkan kepalaku.
                Beberapa jam mungkin telah berlalu. Setelah lama menaiki kapal tua itu, akhirnya kami sampai di sebuah pulau untuk dilabuhi. “Inikah tempatnya?” – “Hmm..kurasa iya~” jawab Destin. “Ayolah kalian. Cepat! Aku masih mempunyai pekerjaan lain,” kata Carmellos yang sudah berjalan lebih dulu. “Hey, Carmellos? Apa kau pernah ke tempat ini?” – “ya. Beberapa waktu lalu ada juga arwah yang masih ingin kembali ke tubuhnya” – “Lalu apa yang terjadi padanya?” – “Dia tertransfer ke dimensi lain” – “Bagaimna bisa?” – “itulah kenapa kita harus bisa menaklukkan pikirannya,” aku hanya diam. Bagaimana aku bisa menaklukkan pikrannya? Aku bahkan tak tau bagaimana Van Hellen. “Kita sampai,” kata Caemellos. Aku meneliti bangunan itu baik baik. Besar, kotor, tua, dan bercat hitam dari pagar sampai bangunannya. “Inikah?” tanyaku tak percaya. “Ayo masuk,” kata Carmellos mengabaikan pertanyaanku.
                Pikiranku terpaku,  Bagaimana aku bisa menaklukkan pikrannya? Aku bahkan tak tau bagaimana Van Hellen. Kakiku mulai gemetar melangkah ke rumah tua itu. Aku sampai di depan pintunya dan Destin membunyikan bel. Pintu besar itu langsung terbuka. Tanpa berkata apa-apa, Carmellos memasuki bangunan itu, diikuti dengan Destin dan aku yang terakhir. Aku melihat sosok manusia berdiri di ujung tangga mengenakan jubah hitam panjang. Aku kemudian berbisisk pada Destin, “Apa itu Van Hellen?” – “Dimana? Aku tak melihat apapun,”jawabnya. “Hati-hati. Van Hellen memiliki banyak jebakan di rumahnya. Itulah mengapa kita harus bisa mengalahkan pikiran dan menyusun strategi untuk melewatinya,” jelas Carmellos. Kata-kata Carmellos menyadarkanku bahwa yang kulihat tadi hanyalah ilusi. “Jangan dengarkan suara apapun, jangan ragu-ragu dengan langkahmu, jangan percaya pada penglihatanmu, jangan percaya pada pendengaranmu dan satu lagi yang paling penting, berhati-hatilah, jangan lengah, siapapun bisa terkirim ke dimensi lain termasuk juga kita, malaikat kematian,” jelas Carmellos. “Semua yang kita lihat di sini hanyalah ilusi. Van Hellen yang asli ada di ruangan tersembunyi,” lanjutnya.
                Beberapa menit kami berjalan, tiba-tiba terdengar suara alunan musik. “Jangan dengarkan alunan itu,” kata Carmellos. Aku langsung menutup telingaku, berusaha mengbaikan alunan itu. Sudah lama kami bertiga berjalan berkeliling di dalam rumah besar itu. Membuka tiap-tiap pintu di dinding-dinging tiap tingkatnya sampai akhirnya, kami menemukan sebuah pintu besar tersendiri di tingkat paling atas rumah itu. “Ayo masuk,” kata Carmellos. Aku dan Destin mengikutinya dari belakang.
                “Wah..wah..wah..siapa yang datang? Selamat untuk kalian,” kata seseorang setelah kami memasuki ruangan itu. “Van Hellen?” pikirku. “Benar sekali, nona,” kata orang itu tadi.
“Apa? Kau bisa membaca pikiranku?”
“Tidak. Aku hanya membaca ekspresimu. Apa yang kau inginkan?”
“Aku..aku ingin hidup kembali”
“Hidup kembali? Heheheh..menurutmu semudah itu?”
Aku hanya diam, tak tahu harus menjawab apa. Suasana menjadi hening, sampai Van Hellen berbicara lagi,”Baiklah, baiklah. Heheheh, aku akan membantumu,” – “Kau tidak akan menipuku,kan?” tanyaku. “Wah, kau memang gadis yang pintar. Aku sedang berbaik hati hari ini, jadi jangan menganggapku akan membohongimu. Heheheh.” Tentu aku tidak begitu percaya pada perkataannya, namun bagaimanapun juga aku tetap mengandalkan kemampuannya. Van Hellen berjalan mundur dan duduk di kursi besarnya, kemudian membuka sebuah buku. Angin mulai bertiup kencang seakan ingin membawaku. Pandanganku mulai kabur.
                “Reiko! Reiko! Cepatlah! Kau akan terlambat!” aku mendengar ibuku berteriak. Aku langsung membuka mataku. “Apa? Apa itu tadi mimpi? Setiap halnya terasa nyata” pikirku. Kulihat ke samping tempat tidurku, tak ada boneka teddy bear di sana. Aku cepat-cepat memeriksa ke luar jendela, namun tidak mendapati apapun. Aku makin bingung apa yang terjadi, namun biarlah bahkan pengarang cerita inipun bingung mau dibawa kemana cerita ini. :P

Back to My Body

Rabu, 19 Februari 2014
Posted by Unknown
Hey! I think it have been a while since I post my draw.. here's some of them which I decided to sell :)





Sell My Draw

Minggu, 09 Februari 2014
Posted by Unknown
It's have been a while, isn't it? Sorry ^^" I was so busy for school..here is, let me give you some of my work

A Long Rest

Sabtu, 12 Oktober 2013
Posted by Unknown
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~Chapter 4~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

"what is she?"

Running ~ 4

Selasa, 10 September 2013
Posted by Unknown

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~Chapter 3~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

" I never liked her. Never"

Running ~ 3

Rabu, 14 Agustus 2013
Posted by Unknown

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~Chapter 2~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

 "Everyone could be nice. Aren't they cute when they're nice?"

Running ~ 2

Selasa, 13 Agustus 2013
Posted by Unknown

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~Chapter 1~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~


"It's really boring isn't? I don't even know why did I agree with her."

Running ~ 1

Senin, 12 Agustus 2013
Posted by Unknown

“I keep walking. I don’t know where to go either. Through this darkness, I can’t see anything but fear. I want to get out from here. I know I want. But sometimes, the darkness is better than the light”

Running

Minggu, 11 Agustus 2013
Posted by Unknown
Is it the first time I upload my water color painting here? I think so..teehee
Hey Hey! Here's two new OCs. let's see.. 

Rein x Certus

Jumat, 31 Mei 2013
Posted by Unknown
fwev ~_~" I've been gone for so long -_-
well now, I'm bored -_- and I think this is a boring story too :P

New OC

Sabtu, 25 Mei 2013
Posted by Unknown
I do this wrong --" lol

...

Selasa, 14 Mei 2013
Posted by Unknown
tch..not good enough I think -_-" but.. whatever ^_^"

My Very First Coloring

Minggu, 12 Mei 2013
Posted by Unknown
I was so bored. What do u think about this? :P

OC?

Sabtu, 11 Mei 2013
Posted by Unknown
Hehehe....I'm actually still a beginner in Manga drawing ^^"

My First Manga?

Kamis, 09 Mei 2013
Posted by Unknown

// Copyright © 2012 ~ Transient Piece of Life ~ //Anime-Note//Powered by Blogger // Designed by Johanes Djogan //