Purple Bobblehead Bunny ~ Transient Piece of Life ~ ~ Transient Piece of Life ~

Newest Post

   
 


         Banyak sekali manusia yang menyukaiku. Mulai dari anak kecil hingga manusia dewasa. Mereka senang menyaksikan aksiku. Tapi mereka tak pernah tau bagaimana perasaan seonggok boneka kayu ini. Aku tak memiliki hak untuk bersuara, tak memiliki hak untuk melawan perintah tuanku. Sesekali jika aku melawan, tuanku akan membantingku ke pojok ruangan atau mematahkan tangan dan kakiku. Tuanku ingin semua terlihat sempurna, termasuk diriku. Aku harus terlihat layaknya putri di depan manusia-manusia itu. Jika ada sesuatu di luar kendalinya yang terjadi, dia akan pergi mininggalkanku atau melemparku ke tempat yang gelap. Tapi terkadang aku masih senang saat Tuan datang kembali dan memanjakanku. Namun kali ini berbeda cerita.
         Setelah menelantarkanku beberapa waktu, tuanku kembali. Kali ini dia lebih mengekangku. Dia berubah menjadi lebih perfeksionis. Aku dipaksa untuk mengikuti semua keinginannya. Malam itu saat Tuan tertidur, aku berusaha melarikan diri. Dengan bantuan sedikit teman manusiaku, aku meninggalkan ruangan tuanku. Aku tau Tuan akan marah besar karena aku, tapi aku tak peduli. Aku sudah terlalu lelah dengan perintah tuanku. Aku ingin bebas.
         Malam itu kupikir aku telah terbebas. Namun aku salah. Tuanku mengejarku, ia menunggangi seekor kuda dan menyambarku dari atas kudanya, meninggalkan tubuh anak manusia tersebut tergeletak di tengah jalan. Aku tertegun. Tangan kiriku terlepas dari tubuhku. Apa yang telah kulakukan? Di rumah, Tuan menaruhku di dalam lemari kaca. Di dalam sini sangan pengap, aku tak bisa bernafas. Sekali lagi aku ingin bebas. Dengan segala cara akhirnya kupecahkan kaca itu. Aku terjatuh di lantai. Aku berusaha menggapai pintu kayu di disebrang ruangan. Sedikit demi sedikit aku mendekatinya. Aku pikir aku akan berhasil, namun salah besar. Tuanku yang terbangun dari tidurnya sangat murka. Lebih murka dari sebelumnya. Dia mengamuk, membantingku ke penjuru ruangan, melepas tangan dan kakiku, menginjakku, kemudian memasukkanku ke tungku pembakaran.
         Mungkin aku harus berterimakasih kepada tuaku. Jika dia tidak menyiksaku, mungkin sekarang aku masih menjadi pionnya. Tapi sekarang aku telah terbebas dari kurungannya. Dengan bahagia kini kusaksikan Tuan, dengan benang di tangan dan kakinya yang menyambung ke jemari kecilku. Dengan senang aku menggerakkan jariku dan Tuan mengikuti gerakan jariku. Aku sangat senang dan puas sekarang. Tuan, jadilah pion terbaikku. Jika tidak, maka aku akan melemparmu ke lembah berdarah yang paling dalam di duniaku.

Boneka Kayu dan Tuannya

Selasa, 26 Juli 2016
Posted by Unknown
Tag :, Tag :
            
           Kau selalu meninggalkanku di belakang. Selalu memintaku untuk jadi yanng lebih, namun kau tak pernah melihatku. Aku berusaha untuk menjadi yang lebih baik dan lebih baik lagi, hingga suatu saat aku terbang ke angkasa, menuju dunia baru. Apakah kau melihatku sekarang? Sayapku tak sekuat burung elang, terbang dengan perlahan ke angkasa. Aku melihatmu dari atas sini, tapi kau terlihat melarikan diri, memalingkan pandanganmu dariku saat kau sadari aku menatapmu. Aku yang mulai putus asa menyebrangi jurang di antara kita, menyerahkan semua seperti pada awalnya. Maafkanlah aku yang tak bisa melakukan ini semua.
“Maaf. Aku hanya ingin menjadi sahabatmu,” itu jawaban darinya saat kuungkapkan perasaanku. Sanabe Touya, seorang senior di sekolahku yang sudah kukagumi sejak dulu. “Tapi...” – “Sudahlah Michio, aku tidak bisa.” Sejak saat itu, Kak Sanabe terlihat mulai menjauhiku. Sedikit demi sedikit. Aku mulai mendengar desas desus dari teman-temanku kalau Kak Sanabe mengencani seorang guru di sekolahku. Tentu saja aku tau siapa guru itu. Ibu Sao, seorang guru baru di sekolahku, ya dia memang cantik dan masih muda. Teman-temankupun banyak yang menyukainya. Selain itu, Ibu Sao juga sangat hebat bermain berbagai alat musik juga menyanyi, dia juga pandai memasak, kadang-kadang Ibu Sao malah membawakan masakannya untuk murid-muridnya.
“Kak Sanabe...” siang itu kuberanikan untuk menobrol dengan seniorku ini. Memang akhir-akhir ini kita sedikit jauh. “Sudah kubilang, Michio. Aku tidak bisa-“ – “Bukan itu. Aku hanya ingin bertanya satu hal. Apa benar kau mengencani Ibu Sao?” – “Dari mana kau mendengar hal itu?” tanyanya dengan nada menginterogasi. “A-Anu...aku tidak bermaksud lancang. Hanya saja, semua orang di sekolah ini bilang begitu.” – “Hah...apa boleh buat. Mereka juga tidak tau hal yang sebenarnya. Baiklah Michio, jika kuberitau kau, jangan beri tau siapaun,” katanya. Aku hanya mengangguk. “Ya...begitulah. Itulah kenapa sejak awal aku tidak bisa menerimamu.” Aku hanya diam, kemudian mengangguk dan meninggalkan Kak Sanabe. Sesungguhnya, aku masih belum menyerah terhadapnya. Rasa suka ini masih saja memburuku meski aku tau dia sudah memiliki orang lain. Aku rasa aku sendiri mempelajari sesuatu. Aku tau, aku tak bisa seperti yang dia inginkan, aku diam-diam mengikuti Ibu Sao, mempelajari apa yang disukai Kak Sanabe darinya. Bukannya aku ingin menjadi orang lain, aku hanya ingin menunjukkan bahwa aku bisa. “Ya Tuhan... Ibu Sao memang hebat. Aku tak mungkin bisa menyamainya,” gumamku sendiri di kamar. “huft...” Banyak sekali yang kupikirkan tentang Kak Sanabe sore itu sampai aku tak menyadari aku tertidur di atas tempat tidurku.
Jam 8 pagi. Kelas sudah mulai. Pelajaran pertama adalah kesenian yang diajarkan oleh Ibu Sao sendiri. “Anak-anak, kita kedatangan murid pindahan. Tak biasanya memang pindah di bulan-bulan sekarang ini, tapi...oh, dia datang. Takanashi, silahkan masuk,” kata Ibu Sao. Seorang gadis berambut pirang-pun masuk. “Ah...p-perkenalkan, nama saya Takanashi Naname. Mohon kerja samanya,” kata gadis itu seusai menuliskan namanya di papan tulis. “Baiklah Takanashi, kau boleh duduk di sebelah Satsuki,” kata Ibu Sao. Takanashi duduk di sebelahku. Rambutnya pendek tapi terlihat indah di bawah paparan sinar matahari yang masuk melalui jendela. “Hai, Takanashi. Perkenalkan aku Satsuki Michio,” kataku mengulurkan tangan. Naname melihatku kemudian tersenyum manis, “Ya, kau teman pertamaku, Satsuki... hehehe...” – “oh...tunggu...teman pertama?” dia mengangguk. “Satsuki, Takanashi, mari kita kembali ke pelajaran,” kata Ibu Sao. “Uh...m-maaf Bu.” Kami berdua langsung fokus ke pelajaran di kelas.
Jam istirahatpun datang, aku menghabiskan waktu istirahatku bersama Takanashi. “Omong-omong Takanashi... katamu tadi, aku teman pertamamu. Apa maksudnya itu?” tanyaku membuyarkan suasana.
“Oh iya, memang. Ini pertama kalinya aku pergi ke sekolah”
“Heeeeee???!!”
“Hehehe... selama ini aku homeschooling, jadi aku tidak pernah ke sekolah”
“Oh begitu... kau pasti anak orang kaya”
“Ah tidak juga. Omong-omong, maukah besok kau makan malam di rumahku?”
“Apa kau yakin? Maksudku kita baru kenal”
“Kau kan teman pertamaku,”
“Mmm...baiklah,”kataku sambil tersenyum. Mulai asat itu, hubunganku dengan Takanashi menjadi dekat. Bahkan, kami mulai memanggil dengan nama depan. Aku juga mulai menceritakan pada Naname tentang perasaanku pada Senior Kak Sanabe.
“Aku sudah menyukainya sejak aku menjadi juniornya,” kataku saat Naname mengajakku jalan-jalan di taman rumahnya yang besar sseusai makan malam. “Ya...terlihat sekali,” katanya. “Hee?? Benarkah??” tanyaku.
“Ehehe...kau tak pandai menyembunyikan perasaan”
“Ung..,kurasa begitu. Tapi sayang, dia mengencani orang lain”
“Oh...maaf, aku tidak bermaksud-“
“tidak apa-apa, Naname...tapi karena melihat orang itu, aku jadi termotivasi”
“Memangnya siapa dia?”
“Ibu Sao”
Kami berdua diam sejenak. Tiba-tiba “Heeeeeee???!!” Naname menjerit terkejut. “D-dia mengencani seorang guru...gurunya sendiri??” – “Begitulah...hehehe, Ibu Sao hebat ya. Dia bisa melakukan apa saja,” kataku. “kau tau sesuatu? Saat aku melihat Ibu Sao, aku jadi ingat seorang penyanyi yang pernah diundang ayahku ke pesta ulang tahunnku saat aku masih kecil,” kata Naname. “Penyanyi?” pikirku. “Mungkin dia memang penyanyi itu,” gumamku. “Maaf?” – “Ah, tidak...sudah malam nih, aku pulang dulu ya...sampai ketemu di sekolah besok,” kataku kemudian berjalan ke stasiun.
Keesokan harinya, aku mengajak Naname mengobrol degan Ibu Sao. “Maaf, Bu...bolehkah kami menanyakan sesuatu?” ucapku setelah beberapa lama mengobrol. “Ya, silahkan,” jawab Ibu Sao dengan ramah. “Apa Ibu memiliki pekerjaan sebelum mengajar di sini?” – “Ya...dulu sewaktu Ibu masih remaja, Ibu adalah seorang penyanyi. Tapi itu tidak ibu masukkan daftar pekerjaan. Ibu hanya penyanyi kafe biasa,” jelasnya. “Penyanyi kafe ya...” pikirku. “Baiklah, Bu...sudah mau masuk nih...kami permisi dulu ya.” Dan begitulah. Akhirnya aku dan Naname menghabiskan waktu istirahat kami bersama Ibu Sawako. “Michio...penyanyi,” – “Yap...mau coba rekaman?” tanyaku. “Okay. Ayahku punya beberapa alat rekaman. Mungkin bisa digunakan,” – “Baguslah...okay, sekarang kapan kita akan mulai rekaman?” tanyaku lagi. “Bagaimana kalau hari ini?” – “Hari ini? Apa tidak apa-apa datang mendadak?” – “Tak apa. Lagi pula orang tuaku sedang berlibur ke luar negri,” kata Naname. “Baiklah,” kataku sambil tersenyum.
Siang itu aku dan Naname melakukan rekaman, dia membawaku ke studio rekaman milik keluarganya. “Whaaaa??? Besar sekali,” kataku terkagum-kagum. “Hehehe...maaf, studio yang lebih besar masih dipakai,” – “Heeee??? Ada yang lebih besar lagi!” – “Baiklah, ayo mulai rekaman. Kau sudah pikirkan lagu apa yang akan kita nyanyikan?” tanya Naname. “Hmm...apa ya...bagaimana kalau ClariS - Don’t Cry?” usulku. “Hmm...okay. Apa kita juga akan merekam musik?” tanya Naname lagi. “Tapi siapa yang bisa memainkan musik?” – “Ah, sebentar lagi band keluargaku datang...hehehe...berhubung ibuku adalah penyanyi kafe, jadi dia memiliki band pribadi,” jelasnya. Beberapa kali aku tercengang dibuatnya. Seberapa kaya anak ini?
Perekeman berjalan lancar. Saat itu juga, aku dan Naname meng-upload hasil rekaman kami di internet. “Wah...menyenangkan ya,” gumamku. “Ya...ayo kita lakukan lagi kapan-kapan,” ajak Naname. “Okay!”tak lama setelah kami mengobrol-ngobrol, tiba-tiba sebuah feedback untuk rekaman kami masuk. “Wah...suaranya keren. Tapi masih ada yang fals,” katanya. Kami berdua hanya tertawa kemudian membalas feedback kami. “Iya...kami akan berusaha lebih keras! ^^” tak lama setelah itu, sebuah feedback masuk lagi. “Siapa yang meng-cover lagu ini? Kenapa tidak diberi artist penyanyinya?” kami berdua diam sejenak. Berpikir apa nama yang akan kita gunakan. “Michio...Naname....Mina...,” gumamku. “Miiinaa...,” kata Naname sambil membalas feedback. “Eh?? Kita benar menggunakan nama itu?” – “Yap!” Kita tertawa berdua. Hari itu sangat menyenangkan. Satu langkah maju untuk membuktikan bahwa aku juga bisa.
Beberapa bulan kemudian, kami sudah bisa meng-cover hampir sepuluh lagu. Ya dan tentu saja, banyak komentar-komentar yang keluar dari orang-orang. Beberapa sempat membuat kami down, tapi kami berusaha agar tidak terpengaruh. Beberapa teman kami juga mengetahui bahwa kami menjadi pe-cover lagu, beberapa dari mereka menyukainya. Meskipun beberapa mengolok-olok suara kami.
Suatu hari, Kak Sanabe mendekatiku. “Jadi, kau mulai menyanyi sekarang?” tanyanya. “Ya, begitulah,” jawabku sambil tersenyum. “hmm...semoga berhasil,” katanya seakan dia tidak mendukungku. Aku diam. Kak Sanabe benar-benar sudah tak memperhatikanku. Apa aku juga harus pergi? “Michio!” sapa Naname mendorong punggungku. “Eh? Halo...” – “Loh, kok cemberut? Kan baru ketemu Kak Sanabe,” – “ung...tidak apa-apa,” kataku sambil tesenyum, menyembunyikan perasaanku.
Kini sudah tepat satu tahun aku mulai menjalani aktifitas menyanyiku dengan Naname. Kami mulai sering diundang ke pesta-pesta kecil dan kafe-kafe. Terkadang, aku melihat Kak Sanabe sepertinya sengaja lewat atau memasuki kafe dimana aku dan Naname mengadakan pertunjukan. Apa dia masih peduli? Beberapa kali kutanyakan pertanyaan yang sama.
Suatu hari di musim dingin. Salju jatuh di atas bumi, asap putih keluar dari mulutku. “Michio!” sapa Naname sambil memukul punggungku. “Oh hey,” jawabku sedikit lesu. “ada apa?” tanyanya.
“Aku bertemu dengan Kak Sanabe di kafe kemarin. Saat kita mengadakan pertunjukan”
“Lalu? Bukannya seharusnya kau senang?”
“Harusnya. Tapi, aku malah merasa sakit hati”
“Kenapa?”
“Entahlah. Saat aku menatapnya, rasanya sudah tidak ada harapan tersisa”
“Hey, jangan begitu. Jangan menyerah!”
“un...entahlah. Semua jadi terasa sia-sia”
“Tidak ada yang sia-sia di sini. Sudahlah, mungkin kau hanya berada di tingkat emosimu”
Aku memikirkan kata-kata Naname. Mungkin dia benar. Aku mungkin memang harus mencoba melupakan emosiku yang terlalu meluap-luap ini. Lagi pula kalau aku terus menerus seperti ini, emosiku bisa mempengaruhi karirku sebagai penyanyi kafe. Hari itu berjalan seperti biasa. Ya, seperti biasa hanya sampai jam istirahat makan siang. “Michioooo!!” triak Naname dari bangku di depanku. “A-ada apa?” – “Lihat! Aku mendapat sebuah e-mail dari...dari...seorang produser!” – “Heeeee???” aku cepat-cepat pergi ke bangku Naname dan membaca e-mailnya. “Woo...apa artinya kita dapat tawaran?” tanyaku tak percaya. Naname hanya menganguk angguk menatapku. Kita akan terkenaaaal!” triaknya semangat. “Ya. Tentu!” jawabku juga semangat. Akhirnya kami menerima tawaran produser itu dan memulai debut kami di musim semi.
Waktu-waktu terus berlalu dan sekarang waktunya kami debut. Memang kami belum memiliki lagu sendiri yang sah, jadi kami menyanyikan beberapa lagu milik beberapa penyanyi. “Bagaimana daftarnya?” tanya Naname. “Oh ya, aku sudah membuat daftar...lagu pertama kita tetap Don’t Cry, kemudian dilanjut lagu Aruji Naki Sono Koe, kemudian Kimi no Yume wo Miyou, dan terakhir Luminous. Mungkin kita juga butuh lagu tambahan,” ucapku. “Oh, Naname bagaimana dengan kostumnya?” tanyaku. “Done!” jawabnya sambil mengedipkan satu matanya. “Yosh! Kami akan melakukan debut!” pikirku semangat.
Hari itu, 28 Januari 20xx kami melakukan debut kami. Berita tentang debut kami tersebar di pelosok kota dan tentu saja, banyak sekali orang yang datang untuk menyaksikan debut kami. Sehari sebelumnya, aku memberi Kak Sanabe tiket dengan harapan dia akan menonton debutku. Ya, mungkin aku sedikit bodoh dengan berani-beraninya memberi sebuah tiket untuk Kak Sanabe yang jelas-jelas semakin jauh hari demi hari. Sejujurnya akupun bingung, apa aku harus tetap mengharap atau menyerahkan saja. Aku berkali-kali memberi kesempatan bagi Kak Sanabe untuk mendekat, namun dia malah menjauh.
Malampun datang, panggung pertunjukan yang kecil inipun sudah dipenuhi orang-orang. Namun sayang, sampai pertunjukan hampir mulai, aku tidak melihat Kak Sanabe di mana-mana. Aku berusaha untuk tetap berpikir positif. “Mungkin Kak Sanabe sibuk dengan tugas-tugasnya. Dia kan sudah kelas 3 sekarang,” pikirku. “Michio, ayo siap-siap,” kata Naname membuyarkan lamunanku. “Oh, iya...hehehe. Kostumku yang biru kan? Punyamu yang hijau?” tanyaku memastikan. “un...iyap.” dengan itu, kami menyiapkan diri untuk debut kami. “Sambutlah! MiNa!!” teriak tuan MC dengan semangat. Kami berdua yang berada di belakang panggung langsung maju ke depan dan melantunkan lagu pertama, Don’t Cry.
Baby always be by your side, donna ni tooku hanaretemo
Baby always be by my side, we are the one it’s never change”
Itu akhir dari lagu pertama kami. Dan tetap saja, tak ada tanda-tanda Kak Sanabe. Kami melanjutkan debut kami ke lagu ke dua, Aruji Naki Sono Koe. Aku tetap tak melihat Kak Sanabe. Aku mulai putus asa menunggunya. “Dia benar-benar tak datang,” pikirku. Namun, aku berusaha menyingkirkan pikiran itu. Rasa kecewa juga rasa sedih karena orang yang paling kuharapkan malah tidak datang. Aku memang senang melihat para penggemar Mina memenuhi panggung pertunjukan, namun tanpa Kak Sanabe...aku masih merasa kecewa. Lagu ketiga dan keempat sudah dilantunkan. Aku sudah berhenti berharap Kak Sanabe datang. Lebih tepatnya, aku sudah tidak berharap lagi. Begitulah debut kami selesai. Orang yang kuharapkan tak datang. “Michio, Kak Sanabe tidak kau undang?” tanya Naname. “Aku mengundangnya. Hanya saja dia...tidak datang,” – “Oh...maafkan aku. Mungkin dia sibuk, ada urusan lain yang lebih penting dan mendadak,” – “unng... Mungkin,” jawabku berusaha melupakan rasa kecwaku.
Malam itu kucoba untuk mengontak Kak Sanabe. Aku mengiriminya sebuah pesan, menanyakan kenapa dia tidak datang ke acara debutku. Namun tidak ada jawaban. Pesan kedua kukirimkan tiga puluh menit setelahnya. Tetap tidak ada jawaban. Pesan ketiga kukirimkan satu jam setelah pesan kedua, “kalau kau menerima pesanku, kumohon jawablah pertanyaanku,” namun tetap saja tak ada jawaban. Malam itu aku tertidur dengan perasaan yang sangat-sangat kecewa. Aku hanya ingin membuktikan aku bisa seperti sosok Ibu Sao yang menjadi idolanya. Namun apa daya saat orang yang ingin kau tunjukkan itu malah tidak menganggapmu.
Keesokan harinya. Langit cerah dan bunga-bunga bermekaran. Sungguh musim semi yang indah. Mulai hari ini, aku menjalani hidup baru. Sebagai siswi SMA dan sebagai seorang penyanyi. Setibanya di sekolah, hal yang tak pernah kubayangkan terjadi. “Hey! Itu dia!” teriak seseorang pada sebuah kerumunan. Tiba-tiba saja, mereka langsung mengejarku. Aku cepat-cepat lari ke kelas dan menutup pintu kelas. “Apa itu tadi?” gumamku. “Ya, begitulah,. Kita menyebutnya penggemar dan jika kau mau aman, kau perlu penyamaran,” kata seseoang yang ternyata adalah Naname. Versi menggunakan kaca mata. “Naname?” – “Pakailah,” katanya sambil memberiku sebuah kaca mata. “Terimakasih,” kemudian aku memakainya.
Siang hari mulai datang, aku mencari Kak Sanabe saat istirahat. “Kak Sanabe?” – “Ya ya, aku tau. Maaf kemarin aku tidak bisa datang. Aku tertidur,” katanya dengan cuek. “Oh, jadi begitu ya...itu juga alasannya kau tidak membaca suratku?” – “ya, aku baru membacanya tadi pagi,” jelas Kak Sanabe yang berjalan menjauh dariku. Memang begitulah hubungan kita sekarang. Tidak peduli. Cuek. Bahkan bisa saja dia tega melupakanku.
Mulai hari itu, kami sering melakukan konser di berbagai tempat dan sekarang kami mulai diundang sebagai penyanyi nasional. Tak lama setelah itu, kami mulai sering diundang tampil di negara tetangga. Kami juga sudah memiliki lagu kami sendiri, sebuah band pengiring dan staf staf yang lain. Akhirnya, kami memutuskan untuk homeschooling karena kami lebih sering tidak masuk sekolah lantaran jadwal konser yang padat. Aku juga pamit kepada Kak Sanabe waktu itu. Walau Kak Sanabe terlihat tidak peduli.
Setahun kemudian, kami menyelesaikan sekolah kami. Sore itu, aku duduk di balkon hotel yang kami sewa. Memandangi langit dengan tatapan kosong. “Michio? Ada apa?” tanya Naname. “Uh...tidak. Hanya jadwal konser kita selanjutnya adalah kota itu... Apa Kak Sanabe masih tinggal di sana?” gumamku. “Oh, jadi itu sebabnya. Kenapa kau tak mengundangnya lagi saja? Kenapa kau tidak mengiriminya pesan?” tanya Naname. “Dia tak pernah membalas pesan-pesanku,” seusai aku bicara demikian, ponselku bergetar, tanda ada pesan masuk. “dari Kak Sana-be?” nadaku langsung berubah menjadi nada tanya. “Whaaa?? Apa katanya?” tanya Nana semangat. “MiNa. Konser selanjutnya ada di kota asal tempat kalian dibentuk. Semangat! Kuusahakan kali ini aku akan datang,” aku membacanya dengan nada tak percaya. “Apa dia ingin menebus ke-tidak-hadirannya saat itu?” gumamku.
Tiga hari kemudian, kami terbang ke kota itu. Kami mengecek panggung yang akan jadi tempat konser kami. “Wah...ini luas sekali,” gumamku. “Panggung ini spesial dibuat karena kedatangan MiNa kembali ke kota asal,” jelas sorang kru. Aku hanya mengangguk angguk. “Michio, Naname. Lebih baik kalian istirahat sekarang. Kalian tidak mau kan konsernya tidak maksimal? Biar sopirku yang antar kalian ke hotel,” kata produser kami. “Anu...Tuan Tsubara, aku memutuskan untuk istirahat di rumah oran tuaku,” kataku. “Aku jugaa...” timpal Naname. “baiklah, biar sopirku mengantar kalian,” dengan begitu kami bertemu lagi dengan keluarga kami setelah sekian lama disibukkan dengan jadwal yang padat.
Malampun menjelang, aku dan Naname menuju ke tempat konser. Bersiap siap dan sedikit latihan menyanyi untuk pemanasan. “Kau siap?” tanya Naname. “Ya...Apa Kak Sanabe benar-benar akan datang?” gumamku. “Jangan khawatirkan hal itu. Kau tau? Terkadang hal yang kita inginkan bukan hal yang terbaik untuk kita. Jika memang kau hanya bisa sebatas ini dengannya, trimalah saja. Itu akan lebih memudahkanmu daripada berusaha dan mempercayai harapan palsu,” kata Naname. Kata-katanya terdengar dalam dan meyakinkan. Mungkin memang seharusnya aku tidak berpegang pada harapan palsu.
Konserpun akhirnya dimulai. Satu demi satu lagu kami nyanyikan. Tetap saja, aku tak melihat Kak Sanabe. Mungkin karena banyaknya orang di sini sampai aku tak bisa melihat satu per satu wajah mereka. “Ini lagu ke-lima kami, Fantasy So High! Nikamtilah!” teriakku pada para penonton. Kami menyanyikan lagu itu. Di sayu sayu kegelapan di bawah panggung, aku melihat Kak Sanabe. Aku tersenyum padanya. Pada akhirnya dia datang juga. Namun sayang, Kak Sanabe tidak membalas senyumanku. Malah dia menundukkan kepala dan pergi, sepertinya keluar dari daerah konser. Sekali lagi aku merasa kecewa. Untung saja Naname memegang bahuku dan mengingatkanku bahwa sekarang waktunya konser. Aku kembali berkonsentrasi pada konsernya.
Konser malam itu lumayan sukses. Kecuali bagian dimana aku sempat melamun. Ya, itu memalukan saat melamun di depan penggemar-penggemar kami. Kami kembali ke back-stage, tiba-tiba ada seorang kru yang mendatangiku. “Ada seseorang yang ingin bertemu dengan anda. Dia bilang anda mengenalnya,” – “uh...baiklah. Mungkin salah satu temanku dulu,” gumamku. Saat aku keluar dari tenda, “Kak Sanabe?” tanyaku tidak percaya. “Ya, ini aku. Pertunjukan yang bagus,” katanya sambil tersenyum, meskipun aku tau itu senyum yang dipaksakan. “Terimakasih,” kataku. “Jadi, Michio. Apa kau masih menyukaiku?” tanyanya tiba-tiba.
“Eh? Kenapa?”
“Kurasa sekarang aku merasakan hal yang sama”
“Oh begitu...”
“Michio. Aku-aku menyukaimu. Maukah kau...”
“Kak Sanabe. Maaf, aku tidak bisa”
“Apa? Kenapa? Kau dulu memintaku untuk menjadi kekasihmu”
“Ya...dan itu dulu. Maaf”
“Kenapa kau tak mau memberiku kesempatan?”
“Maaf. Kak Sanabe, aku sebenarnya telah memberimu banyak kesempatan, namun kau selalu melupakan kesempatan itu. Kau malah menjauhiku di saat aku mengijinkanmu mendekatiku,” jelasku. “Tapi-“ – “Maafkan aku. Aku tidak bisa” – “Michio, kau sudah berhasil membuktikan bahwa kau yang terbaik. Kumohon” – “Terbaikkah? Tapi aku tidak bisa kencan denganmu. Aku bukan Michio yang dulu lagi. Aku sekarang adalah anggota MiNa dan...maaf, aku hanya tak bisa, aku hanya ingin konsentrasi pada karirku. Lagipula, rasa itu sudah hilang,” jelasku kemudian menangis dan berlari menjauhinya.
Pada akhirnya aku malah meninggalkannya, harapan palsu yang mengejarku dari dulu sudah menyerah, bersama dengan perasaanku terhadap Kak Sanabe. Aku hanya berpikir...apa yang akan terjadi nantinya jika kuberi dia kesempatan? Dia sudah mengabaikan kesempatannya yang dulu. Aku tidak bisa menerima orang yang telah berusaha membuangku dulu. Malam itu aku mendapat sebuah pesan lagi dari Kak Sanabe, “baiklah, tapi jangan lupa aku akan tetap mendukungmu. Aku akan menjadi penggemarmu!” aku tersenyum membaca pesan itu tapi juga sangat sakit mengingat apa yang telah kulakukan padanya hingga aku meneteskan air mata.
Kehidupanku sudah berubah drastis. Sekarang aku menjadi seorang idola bersama dengan sahabatku Naname. Dan untuk Kak Sanabe? Ya, dia memang benar-benar menjadi seorang penggemar MiNa. Dia beberapa kali mengirimkan surat penggemar padaku, terakhir aku mendengar kabarnya, dia menjadi ketua fanbase di kota itu. Aku sangat senang mendengarnya meski sekarang jarak diantara kami makin jauh, tapi aku senang bisa menjadi idola Kak Sanabe. Aku akan terus melantunkan lagu dengan semangat, meski banyak hal yang tak terduga yang bisa membuatku putus asa, namun dukungan dari para penggemarku tak pernah padam. Aku berjanji, demi mereka aku akan tetap menjadi gadis yang ceria selamanya.

Yume no Akari

Senin, 09 Maret 2015
Posted by Unknown
I still remember when I and Nana covered our first song.. Kokoro no Inryoku from ClariS..ha,it's my favorite since we got a better recorder :p but it's only vocal recording.. Here it is.. Kokoro no Inryoku by MiNa

First recording

Senin, 01 Desember 2014
Posted by Unknown
Tag :, Tag :, Tag :

// Copyright © 2012 ~ Transient Piece of Life ~ //Anime-Note//Powered by Blogger // Designed by Johanes Djogan //