Newest Post
// Posted by :Unknown
// On :Senin, 09 Maret 2015
“Maaf. Aku hanya ingin menjadi sahabatmu,”
itu jawaban darinya saat kuungkapkan perasaanku. Sanabe Touya,
seorang senior di sekolahku yang sudah kukagumi sejak dulu. “Tapi...”
– “Sudahlah Michio, aku tidak bisa.” Sejak saat itu, Kak Sanabe
terlihat mulai menjauhiku. Sedikit demi sedikit. Aku mulai mendengar
desas desus dari teman-temanku kalau Kak Sanabe mengencani seorang
guru di sekolahku. Tentu saja aku tau siapa guru itu. Ibu Sao,
seorang guru baru di sekolahku, ya dia memang cantik dan masih muda.
Teman-temankupun banyak yang menyukainya. Selain itu, Ibu Sao juga
sangat hebat bermain berbagai alat musik juga menyanyi, dia juga
pandai memasak, kadang-kadang Ibu Sao malah membawakan masakannya
untuk murid-muridnya.
“Kak
Sanabe...” siang itu kuberanikan untuk menobrol dengan seniorku
ini. Memang akhir-akhir ini kita sedikit jauh. “Sudah kubilang,
Michio. Aku tidak bisa-“ – “Bukan itu. Aku hanya ingin bertanya
satu hal. Apa benar kau mengencani Ibu Sao?” – “Dari mana kau
mendengar hal itu?” tanyanya dengan nada menginterogasi.
“A-Anu...aku tidak bermaksud lancang. Hanya saja, semua orang di
sekolah ini bilang begitu.” – “Hah...apa boleh buat. Mereka
juga tidak tau hal yang sebenarnya. Baiklah Michio, jika kuberitau
kau, jangan beri tau siapaun,” katanya. Aku hanya mengangguk.
“Ya...begitulah. Itulah kenapa sejak awal aku tidak bisa
menerimamu.” Aku hanya diam, kemudian mengangguk dan meninggalkan
Kak Sanabe. Sesungguhnya, aku masih belum menyerah terhadapnya. Rasa
suka ini masih saja memburuku meski aku tau dia sudah memiliki orang
lain. Aku rasa aku sendiri mempelajari sesuatu. Aku tau, aku tak bisa
seperti yang dia inginkan, aku diam-diam mengikuti Ibu Sao,
mempelajari apa yang disukai Kak Sanabe darinya. Bukannya aku ingin
menjadi orang lain, aku hanya ingin menunjukkan bahwa aku bisa. “Ya
Tuhan... Ibu Sao memang hebat. Aku tak mungkin bisa menyamainya,”
gumamku sendiri di kamar. “huft...” Banyak sekali yang kupikirkan
tentang Kak Sanabe sore itu sampai aku tak menyadari aku tertidur di
atas tempat tidurku.
Jam
8 pagi. Kelas sudah mulai. Pelajaran pertama adalah kesenian yang
diajarkan oleh Ibu Sao sendiri. “Anak-anak, kita kedatangan murid
pindahan. Tak biasanya memang pindah di bulan-bulan sekarang ini,
tapi...oh, dia datang. Takanashi, silahkan masuk,” kata Ibu Sao.
Seorang gadis berambut pirang-pun masuk. “Ah...p-perkenalkan, nama
saya Takanashi Naname. Mohon kerja samanya,” kata gadis itu seusai
menuliskan namanya di papan tulis. “Baiklah Takanashi, kau boleh
duduk di sebelah Satsuki,” kata Ibu Sao. Takanashi duduk di
sebelahku. Rambutnya pendek tapi terlihat indah di bawah paparan
sinar matahari yang masuk melalui jendela. “Hai, Takanashi.
Perkenalkan aku Satsuki Michio,” kataku mengulurkan tangan. Naname
melihatku kemudian tersenyum manis, “Ya, kau teman pertamaku,
Satsuki... hehehe...” – “oh...tunggu...teman pertama?” dia
mengangguk. “Satsuki, Takanashi, mari kita kembali ke pelajaran,”
kata Ibu Sao. “Uh...m-maaf Bu.” Kami berdua langsung fokus ke
pelajaran di kelas.
Jam
istirahatpun datang, aku menghabiskan waktu istirahatku bersama
Takanashi. “Omong-omong Takanashi... katamu tadi, aku teman
pertamamu. Apa maksudnya itu?” tanyaku membuyarkan suasana.
“Oh
iya, memang. Ini pertama kalinya aku pergi ke sekolah”
“Heeeeee???!!”
“Hehehe...
selama ini aku homeschooling, jadi aku tidak pernah ke
sekolah”
“Oh
begitu... kau pasti anak orang kaya”
“Ah
tidak juga. Omong-omong, maukah besok kau makan malam di rumahku?”
“Apa
kau yakin? Maksudku kita baru kenal”
“Kau
kan teman pertamaku,”
“Mmm...baiklah,”kataku
sambil tersenyum. Mulai asat itu, hubunganku dengan Takanashi menjadi
dekat. Bahkan, kami mulai memanggil dengan nama depan. Aku juga mulai
menceritakan pada Naname tentang perasaanku pada Senior Kak Sanabe.
“Aku
sudah menyukainya sejak aku menjadi juniornya,” kataku saat Naname
mengajakku jalan-jalan di taman rumahnya yang besar sseusai makan
malam. “Ya...terlihat sekali,” katanya. “Hee?? Benarkah??”
tanyaku.
“Ehehe...kau
tak pandai menyembunyikan perasaan”
“Ung..,kurasa
begitu. Tapi sayang, dia mengencani orang lain”
“Oh...maaf,
aku tidak bermaksud-“
“tidak
apa-apa, Naname...tapi karena melihat orang itu, aku jadi
termotivasi”
“Memangnya
siapa dia?”
“Ibu
Sao”
Kami
berdua diam sejenak. Tiba-tiba “Heeeeeee???!!” Naname menjerit
terkejut. “D-dia mengencani seorang guru...gurunya sendiri??” –
“Begitulah...hehehe, Ibu Sao hebat ya. Dia bisa melakukan apa
saja,” kataku. “kau tau sesuatu? Saat aku melihat Ibu Sao, aku
jadi ingat seorang penyanyi yang pernah diundang ayahku ke pesta
ulang tahunnku saat aku masih kecil,” kata Naname. “Penyanyi?”
pikirku. “Mungkin dia memang penyanyi itu,” gumamku. “Maaf?”
– “Ah, tidak...sudah malam nih, aku pulang dulu ya...sampai
ketemu di sekolah besok,” kataku kemudian berjalan ke stasiun.
Keesokan
harinya, aku mengajak Naname mengobrol degan Ibu Sao. “Maaf,
Bu...bolehkah kami menanyakan sesuatu?” ucapku setelah beberapa
lama mengobrol. “Ya, silahkan,” jawab Ibu Sao dengan ramah. “Apa
Ibu memiliki pekerjaan sebelum mengajar di sini?” – “Ya...dulu
sewaktu Ibu masih remaja, Ibu adalah seorang penyanyi. Tapi itu tidak
ibu masukkan daftar pekerjaan. Ibu hanya penyanyi kafe biasa,”
jelasnya. “Penyanyi kafe ya...” pikirku. “Baiklah, Bu...sudah
mau masuk nih...kami permisi dulu ya.” Dan begitulah. Akhirnya aku
dan Naname menghabiskan waktu istirahat kami bersama Ibu Sawako.
“Michio...penyanyi,” – “Yap...mau coba rekaman?” tanyaku.
“Okay. Ayahku punya beberapa alat rekaman. Mungkin bisa digunakan,”
– “Baguslah...okay, sekarang kapan kita akan mulai rekaman?”
tanyaku lagi. “Bagaimana kalau hari ini?” – “Hari ini? Apa
tidak apa-apa datang mendadak?” – “Tak apa. Lagi pula orang
tuaku sedang berlibur ke luar negri,” kata Naname. “Baiklah,”
kataku sambil tersenyum.
Siang
itu aku dan Naname melakukan rekaman, dia membawaku ke studio rekaman
milik keluarganya. “Whaaaa??? Besar sekali,” kataku
terkagum-kagum. “Hehehe...maaf, studio yang lebih besar masih
dipakai,” – “Heeee??? Ada yang lebih besar lagi!” –
“Baiklah, ayo mulai rekaman. Kau sudah pikirkan lagu apa yang akan
kita nyanyikan?” tanya Naname. “Hmm...apa ya...bagaimana kalau
ClariS - Don’t Cry?” usulku. “Hmm...okay. Apa kita juga akan
merekam musik?” tanya Naname lagi. “Tapi siapa yang bisa
memainkan musik?” – “Ah, sebentar lagi band keluargaku
datang...hehehe...berhubung ibuku adalah penyanyi kafe, jadi dia
memiliki band pribadi,” jelasnya. Beberapa kali aku tercengang
dibuatnya. Seberapa kaya anak ini?
Perekeman
berjalan lancar. Saat itu juga, aku dan Naname meng-upload hasil
rekaman kami di internet. “Wah...menyenangkan ya,” gumamku.
“Ya...ayo kita lakukan lagi kapan-kapan,” ajak Naname. “Okay!”tak
lama setelah kami mengobrol-ngobrol, tiba-tiba sebuah feedback untuk
rekaman kami masuk. “Wah...suaranya keren. Tapi masih ada yang
fals,” katanya. Kami berdua hanya tertawa kemudian membalas
feedback kami. “Iya...kami akan berusaha lebih keras! ^^” tak
lama setelah itu, sebuah feedback masuk lagi. “Siapa yang
meng-cover lagu ini? Kenapa tidak diberi artist penyanyinya?” kami
berdua diam sejenak. Berpikir apa nama yang akan kita gunakan.
“Michio...Naname....Mina...,” gumamku. “Miiinaa...,” kata
Naname sambil membalas feedback. “Eh?? Kita benar menggunakan nama
itu?” – “Yap!” Kita tertawa berdua. Hari itu sangat
menyenangkan. Satu langkah maju untuk membuktikan bahwa aku juga
bisa.
Beberapa
bulan kemudian, kami sudah bisa meng-cover hampir sepuluh lagu. Ya
dan tentu saja, banyak komentar-komentar yang keluar dari
orang-orang. Beberapa sempat membuat kami down, tapi kami berusaha
agar tidak terpengaruh. Beberapa teman kami juga mengetahui bahwa
kami menjadi pe-cover lagu, beberapa dari mereka menyukainya.
Meskipun beberapa mengolok-olok suara kami.
Suatu
hari, Kak Sanabe mendekatiku. “Jadi, kau mulai menyanyi sekarang?”
tanyanya. “Ya, begitulah,” jawabku sambil tersenyum.
“hmm...semoga berhasil,” katanya seakan dia tidak mendukungku.
Aku diam. Kak Sanabe benar-benar sudah tak memperhatikanku. Apa aku
juga harus pergi? “Michio!” sapa Naname mendorong punggungku.
“Eh? Halo...” – “Loh, kok cemberut? Kan baru ketemu Kak
Sanabe,” – “ung...tidak apa-apa,” kataku sambil tesenyum,
menyembunyikan perasaanku.
Kini
sudah tepat satu tahun aku mulai menjalani aktifitas menyanyiku
dengan Naname. Kami mulai sering diundang ke pesta-pesta kecil dan
kafe-kafe. Terkadang, aku melihat Kak Sanabe sepertinya sengaja lewat
atau memasuki kafe dimana aku dan Naname mengadakan pertunjukan. Apa
dia masih peduli? Beberapa kali kutanyakan pertanyaan yang sama.
Suatu
hari di musim dingin. Salju jatuh di atas bumi, asap putih keluar
dari mulutku. “Michio!” sapa Naname sambil memukul punggungku.
“Oh hey,” jawabku sedikit lesu. “ada apa?” tanyanya.
“Aku
bertemu dengan Kak Sanabe di kafe kemarin. Saat kita mengadakan
pertunjukan”
“Lalu?
Bukannya seharusnya kau senang?”
“Harusnya.
Tapi, aku malah merasa sakit hati”
“Kenapa?”
“Entahlah.
Saat aku menatapnya, rasanya sudah tidak ada harapan tersisa”
“Hey,
jangan begitu. Jangan menyerah!”
“un...entahlah.
Semua jadi terasa sia-sia”
“Tidak
ada yang sia-sia di sini. Sudahlah, mungkin kau hanya berada di
tingkat emosimu”
Aku
memikirkan kata-kata Naname. Mungkin dia benar. Aku mungkin memang
harus mencoba melupakan emosiku yang terlalu meluap-luap ini. Lagi
pula kalau aku terus menerus seperti ini, emosiku bisa mempengaruhi
karirku sebagai penyanyi kafe. Hari itu berjalan seperti biasa. Ya,
seperti biasa hanya sampai jam istirahat makan siang. “Michioooo!!”
triak Naname dari bangku di depanku. “A-ada apa?” – “Lihat!
Aku mendapat sebuah e-mail dari...dari...seorang produser!” –
“Heeeee???” aku cepat-cepat pergi ke bangku Naname dan membaca
e-mailnya. “Woo...apa artinya kita dapat tawaran?” tanyaku tak
percaya. Naname hanya menganguk angguk menatapku. Kita akan
terkenaaaal!” triaknya semangat. “Ya. Tentu!” jawabku juga
semangat. Akhirnya kami menerima tawaran produser itu dan memulai
debut kami di musim semi.
Waktu-waktu
terus berlalu dan sekarang waktunya kami debut. Memang kami belum
memiliki lagu sendiri yang sah, jadi kami menyanyikan beberapa lagu
milik beberapa penyanyi. “Bagaimana daftarnya?” tanya Naname. “Oh
ya, aku sudah membuat daftar...lagu pertama kita tetap Don’t Cry,
kemudian dilanjut lagu Aruji Naki Sono Koe, kemudian Kimi no Yume wo
Miyou, dan terakhir Luminous. Mungkin kita juga butuh lagu tambahan,”
ucapku. “Oh, Naname bagaimana dengan kostumnya?” tanyaku. “Done!”
jawabnya sambil mengedipkan satu matanya. “Yosh! Kami akan
melakukan debut!” pikirku semangat.
Hari
itu, 28 Januari 20xx kami melakukan debut kami. Berita tentang debut
kami tersebar di pelosok kota dan tentu saja, banyak sekali orang
yang datang untuk menyaksikan debut kami. Sehari sebelumnya, aku
memberi Kak Sanabe tiket dengan harapan dia akan menonton debutku.
Ya, mungkin aku sedikit bodoh dengan berani-beraninya memberi sebuah
tiket untuk Kak Sanabe yang jelas-jelas semakin jauh hari demi hari.
Sejujurnya akupun bingung, apa aku harus tetap mengharap atau
menyerahkan saja. Aku berkali-kali memberi kesempatan bagi Kak Sanabe
untuk mendekat, namun dia malah menjauh.
Malampun
datang, panggung pertunjukan yang kecil inipun sudah dipenuhi
orang-orang. Namun sayang, sampai pertunjukan hampir mulai, aku tidak
melihat Kak Sanabe di mana-mana. Aku berusaha untuk tetap berpikir
positif. “Mungkin Kak Sanabe sibuk dengan tugas-tugasnya. Dia kan
sudah kelas 3 sekarang,” pikirku. “Michio, ayo siap-siap,” kata
Naname membuyarkan lamunanku. “Oh, iya...hehehe. Kostumku yang biru
kan? Punyamu yang hijau?” tanyaku memastikan. “un...iyap.”
dengan itu, kami menyiapkan diri untuk debut kami. “Sambutlah!
MiNa!!” teriak tuan MC dengan semangat. Kami berdua yang berada di
belakang panggung langsung maju ke depan dan melantunkan lagu
pertama, Don’t Cry.
“Baby
always be by your side, donna ni tooku hanaretemo
Baby
always be by my side, we are the one it’s never change”
Itu
akhir dari lagu pertama kami. Dan tetap saja, tak ada tanda-tanda Kak
Sanabe. Kami melanjutkan debut kami ke lagu ke dua, Aruji Naki Sono
Koe. Aku tetap tak melihat Kak Sanabe. Aku mulai putus asa
menunggunya. “Dia benar-benar tak datang,” pikirku. Namun, aku
berusaha menyingkirkan pikiran itu. Rasa kecewa juga rasa sedih
karena orang yang paling kuharapkan malah tidak datang. Aku memang
senang melihat para penggemar Mina memenuhi panggung pertunjukan,
namun tanpa Kak Sanabe...aku masih merasa kecewa. Lagu ketiga dan
keempat sudah dilantunkan. Aku sudah berhenti berharap Kak Sanabe
datang. Lebih tepatnya, aku sudah tidak berharap lagi. Begitulah
debut kami selesai. Orang yang kuharapkan tak datang. “Michio, Kak
Sanabe tidak kau undang?” tanya Naname. “Aku mengundangnya. Hanya
saja dia...tidak datang,” – “Oh...maafkan aku. Mungkin dia
sibuk, ada urusan lain yang lebih penting dan mendadak,” –
“unng... Mungkin,” jawabku berusaha melupakan rasa kecwaku.
Malam
itu kucoba untuk mengontak Kak Sanabe. Aku mengiriminya sebuah pesan,
menanyakan kenapa dia tidak datang ke acara debutku. Namun tidak ada
jawaban. Pesan kedua kukirimkan tiga puluh menit setelahnya. Tetap
tidak ada jawaban. Pesan ketiga kukirimkan satu jam setelah pesan
kedua, “kalau kau menerima pesanku, kumohon jawablah pertanyaanku,”
namun tetap saja tak ada jawaban. Malam itu aku tertidur dengan
perasaan yang sangat-sangat kecewa. Aku hanya ingin membuktikan aku
bisa seperti sosok Ibu Sao yang menjadi idolanya. Namun apa daya saat
orang yang ingin kau tunjukkan itu malah tidak menganggapmu.
Keesokan
harinya. Langit cerah dan bunga-bunga bermekaran. Sungguh musim semi
yang indah. Mulai hari ini, aku menjalani hidup baru. Sebagai siswi
SMA dan sebagai seorang penyanyi. Setibanya di sekolah, hal yang tak
pernah kubayangkan terjadi. “Hey! Itu dia!” teriak seseorang pada
sebuah kerumunan. Tiba-tiba saja, mereka langsung mengejarku. Aku
cepat-cepat lari ke kelas dan menutup pintu kelas. “Apa itu tadi?”
gumamku. “Ya, begitulah,. Kita menyebutnya penggemar dan jika kau
mau aman, kau perlu penyamaran,” kata seseoang yang ternyata adalah
Naname. Versi menggunakan kaca mata. “Naname?” – “Pakailah,”
katanya sambil memberiku sebuah kaca mata. “Terimakasih,”
kemudian aku memakainya.
Siang
hari mulai datang, aku mencari Kak Sanabe saat istirahat. “Kak
Sanabe?” – “Ya ya, aku tau. Maaf kemarin aku tidak bisa datang.
Aku tertidur,” katanya dengan cuek. “Oh, jadi begitu ya...itu
juga alasannya kau tidak membaca suratku?” – “ya, aku baru
membacanya tadi pagi,” jelas Kak Sanabe yang berjalan menjauh
dariku. Memang begitulah hubungan kita sekarang. Tidak peduli. Cuek.
Bahkan bisa saja dia tega melupakanku.
Mulai
hari itu, kami sering melakukan konser di berbagai tempat dan
sekarang kami mulai diundang sebagai penyanyi nasional. Tak lama
setelah itu, kami mulai sering diundang tampil di negara tetangga.
Kami juga sudah memiliki lagu kami sendiri, sebuah band pengiring dan
staf staf yang lain. Akhirnya, kami memutuskan untuk homeschooling
karena kami lebih sering tidak masuk sekolah lantaran jadwal konser
yang padat. Aku juga pamit kepada Kak Sanabe waktu itu. Walau Kak
Sanabe terlihat tidak peduli.
Setahun
kemudian, kami menyelesaikan sekolah kami. Sore itu, aku duduk di
balkon hotel yang kami sewa. Memandangi langit dengan tatapan kosong.
“Michio? Ada apa?” tanya Naname. “Uh...tidak. Hanya jadwal
konser kita selanjutnya adalah kota itu... Apa Kak Sanabe masih
tinggal di sana?” gumamku. “Oh, jadi itu sebabnya. Kenapa kau tak
mengundangnya lagi saja? Kenapa kau tidak mengiriminya pesan?”
tanya Naname. “Dia tak pernah membalas pesan-pesanku,” seusai aku
bicara demikian, ponselku bergetar, tanda ada pesan masuk. “dari
Kak Sana-be?” nadaku langsung berubah menjadi nada tanya. “Whaaa??
Apa katanya?” tanya Nana semangat. “MiNa. Konser selanjutnya ada
di kota asal tempat kalian dibentuk. Semangat! Kuusahakan kali ini
aku akan datang,” aku membacanya dengan nada tak percaya. “Apa
dia ingin menebus ke-tidak-hadirannya saat itu?” gumamku.
Tiga
hari kemudian, kami terbang ke kota itu. Kami mengecek panggung yang
akan jadi tempat konser kami. “Wah...ini luas sekali,” gumamku.
“Panggung ini spesial dibuat karena kedatangan MiNa kembali ke kota
asal,” jelas sorang kru. Aku hanya mengangguk angguk. “Michio,
Naname. Lebih baik kalian istirahat sekarang. Kalian tidak mau kan
konsernya tidak maksimal? Biar sopirku yang antar kalian ke hotel,”
kata produser kami. “Anu...Tuan Tsubara, aku memutuskan untuk
istirahat di rumah oran tuaku,” kataku. “Aku jugaa...” timpal
Naname. “baiklah, biar sopirku mengantar kalian,” dengan begitu
kami bertemu lagi dengan keluarga kami setelah sekian lama disibukkan
dengan jadwal yang padat.
Malampun
menjelang, aku dan Naname menuju ke tempat konser. Bersiap siap dan
sedikit latihan menyanyi untuk pemanasan. “Kau siap?” tanya
Naname. “Ya...Apa Kak Sanabe benar-benar akan datang?” gumamku.
“Jangan khawatirkan hal itu. Kau tau? Terkadang hal yang kita
inginkan bukan hal yang terbaik untuk kita. Jika memang kau hanya
bisa sebatas ini dengannya, trimalah saja. Itu akan lebih
memudahkanmu daripada berusaha dan mempercayai harapan palsu,” kata
Naname. Kata-katanya terdengar dalam dan meyakinkan. Mungkin memang
seharusnya aku tidak berpegang pada harapan palsu.
Konserpun
akhirnya dimulai. Satu demi satu lagu kami nyanyikan. Tetap saja, aku
tak melihat Kak Sanabe. Mungkin karena banyaknya orang di sini sampai
aku tak bisa melihat satu per satu wajah mereka. “Ini lagu ke-lima
kami, Fantasy So High! Nikamtilah!” teriakku pada para penonton.
Kami menyanyikan lagu itu. Di sayu sayu kegelapan di bawah panggung,
aku melihat Kak Sanabe. Aku tersenyum padanya. Pada akhirnya dia
datang juga. Namun sayang, Kak Sanabe tidak membalas senyumanku.
Malah dia menundukkan kepala dan pergi, sepertinya keluar dari daerah
konser. Sekali lagi aku merasa kecewa. Untung saja Naname memegang
bahuku dan mengingatkanku bahwa sekarang waktunya konser. Aku kembali
berkonsentrasi pada konsernya.
Konser
malam itu lumayan sukses. Kecuali bagian dimana aku sempat melamun.
Ya, itu memalukan saat melamun di depan penggemar-penggemar kami.
Kami kembali ke back-stage, tiba-tiba ada seorang kru yang
mendatangiku. “Ada seseorang yang ingin bertemu dengan anda. Dia
bilang anda mengenalnya,” – “uh...baiklah. Mungkin salah satu
temanku dulu,” gumamku. Saat aku keluar dari tenda, “Kak Sanabe?”
tanyaku tidak percaya. “Ya, ini aku. Pertunjukan yang bagus,”
katanya sambil tersenyum, meskipun aku tau itu senyum yang
dipaksakan. “Terimakasih,” kataku. “Jadi, Michio. Apa kau masih
menyukaiku?” tanyanya tiba-tiba.
“Eh?
Kenapa?”
“Kurasa
sekarang aku merasakan hal yang sama”
“Oh
begitu...”
“Michio.
Aku-aku menyukaimu. Maukah kau...”
“Kak
Sanabe. Maaf, aku tidak bisa”
“Apa?
Kenapa? Kau dulu memintaku untuk menjadi kekasihmu”
“Ya...dan
itu dulu. Maaf”
“Kenapa
kau tak mau memberiku kesempatan?”
“Maaf.
Kak Sanabe, aku sebenarnya telah memberimu banyak kesempatan, namun
kau selalu melupakan kesempatan itu. Kau malah menjauhiku di saat aku
mengijinkanmu mendekatiku,” jelasku. “Tapi-“ – “Maafkan
aku. Aku tidak bisa” – “Michio, kau sudah berhasil membuktikan
bahwa kau yang terbaik. Kumohon” – “Terbaikkah? Tapi aku tidak
bisa kencan denganmu. Aku bukan Michio yang dulu lagi. Aku sekarang
adalah anggota MiNa dan...maaf, aku hanya tak bisa, aku hanya ingin
konsentrasi pada karirku. Lagipula, rasa itu sudah hilang,” jelasku
kemudian menangis dan berlari menjauhinya.
Pada
akhirnya aku malah meninggalkannya, harapan palsu yang mengejarku
dari dulu sudah menyerah, bersama dengan perasaanku terhadap Kak
Sanabe. Aku hanya berpikir...apa yang akan terjadi nantinya jika
kuberi dia kesempatan? Dia sudah mengabaikan kesempatannya yang dulu.
Aku tidak bisa menerima orang yang telah berusaha membuangku dulu.
Malam itu aku mendapat sebuah pesan lagi dari Kak Sanabe, “baiklah,
tapi jangan lupa aku akan tetap mendukungmu. Aku akan menjadi
penggemarmu!” aku tersenyum membaca pesan itu tapi juga sangat
sakit mengingat apa yang telah kulakukan padanya hingga aku
meneteskan air mata.
Kehidupanku
sudah berubah drastis. Sekarang aku menjadi seorang idola bersama
dengan sahabatku Naname. Dan untuk Kak Sanabe? Ya, dia memang
benar-benar menjadi seorang penggemar MiNa. Dia beberapa kali
mengirimkan surat penggemar padaku, terakhir aku mendengar kabarnya,
dia menjadi ketua fanbase di kota itu. Aku sangat senang
mendengarnya meski sekarang jarak diantara kami makin jauh, tapi aku
senang bisa menjadi idola Kak Sanabe. Aku akan terus melantunkan lagu
dengan semangat, meski banyak hal yang tak terduga yang bisa
membuatku putus asa, namun dukungan dari para penggemarku tak pernah
padam. Aku berjanji, demi mereka aku akan tetap menjadi gadis yang
ceria selamanya.
Posting Komentar