Purple Bobblehead Bunny Pesan untuk Sahabat ~ Transient Piece of Life ~: Pesan untuk Sahabat

Newest Post

// Posted by :Unknown // On :Rabu, 08 Januari 2014

 Hujan putih telah kembali

Membuat sepi kenangan yang sudah terjadi
Hey, katakan jika kau merasa sepi
Katakan jika kau sendiri
Aku akan datang padamu
Meski suaraku tak dapat menjamahmu
Meski langit menjadi kelabu
Aku tetap berusaha meraihmu 

                Potongan terakhir kertas yang usang itu selalu tersimpan dibenakku. Setiap kata, setiap kalimat yang kau ucap sangat jelas tergambar di pikiranku. “Sebuah Pesan untuk Sahabat” begitu katamu. Ya, tentu aku menganggapmu serius saat mengatakan hal itu. Namun semua berubah setelah kejadian kemarin.
                “Ina!!” teriakmu dari kejauhan. Aku berbalik badan menatap arah suara itu. Sinar mentari dari timur menyilaukan wajahku. “Megurine?” aku menggumam. Kita berdua adalah sahabat, bisa dibilang sahabat paling dekat sedunia. Memang kita selalu menyebut diri kita begitu. Pagi itu, kita berjalan bersama memasuki gerbang sekolah. Kadang aku berpikir kalau dunia terasa lebih indah dan berwarna bersamamu, kau senang sekali memberi kejutan dan hadiah padaku.
                Hari itu bukan hari yang sepesial buatku, buruk malah. Ini sudah seperti kebiasaan jika aku selalu menjadi bahan ejekan kakak kelasku. Entah apa yang membuat mereka suka sekali mengejekku. Namun, kau selalu membuatku merasa bahwa hal itu bukan masalah besar. Hari itu, sepulang sekolah kau mengajakku untuk jalan-jalan.”Ina, ayo kita jalan-jalan ke taman depan,” katamu dengan senyuman lebar. Sekedar berputar-putar di taman sudah cukup bagiku. “Ina, apa kau haus?” tanyamu. Aku menggelengkan kepala. “baiklah,” katamu sebelum akhirnya menarikku ke sebuah bangku dan mendudukkanku di sana. “Aku punya sesuatu untukmu,” katamu sembari mengeluarkan secarik kertas. “Sebuat Pesan untuk Sahabat” katamu dengan keras. Kau mulai membaca setiap kata, setiap kalimat di kertas itu. Sebuah puisi indah yang kau berikan padaku.
                Beberapa hari berlalu, kau tetap sama dengan yang dulu. Kini sudah tepat dua tahun sejak kita bersahabat dan aku mulai merasa banyak masalah yang muncul. Sepertinya dunia ingin membunuh persahabatan kita. Kau terlihat berbeda sekarang. Ku tak tahu apakah itu hanya perasaanku saja atau kau memang berubah. Aku pun mulai menanakan persahabatan kia. Kau tak pernah lagi memberiku kejutan, terkadang kau tak mau mendengarku ketika aku bericara. Kau acuh tak acuh padaku.
                Pagi itu tak seperti hari-hari biasa. Mentari tak mau bersinar menemaniku. Burung-burung berhenti bersiul dan bunga-bunga terlihat layu. Apalagi kau tidak menemaniku sekarang. Pagi itu aku juga masih diejek oleh senior-seniorku. Aku melihatmu mengintip dari balik pintu kelas. Itu memang yang biasa kau lakukan, setidaknya akhir-akhir ini. Paling tidak, melihatmu masih berdiri menatapku sudah membuatku merasa senang.
                Bel masuk berbunyi, para seniorku meninggalkanku sendirian. Dengan rambut acak-acakan, aku masuk dalam kelas. Beberapa teman di kelasku tertawa melihat penampilanku. “Hey, apa kau baru saja cari gara-gara sama preman?” tanya seorang temanku. Aku hanya diam menutupi rasa maluku. Aku masih ingat, dulu kau selalu duduk di sampingku dan mengatakan, “Jangan pedulikan mereka. Mereka itu sampah”. Namn semuanya telah berubah, kau malah ikut menertawakanku. Dalam hatiku aku bertanya, apa kau bukan sahabatku lagi? Apa kau sudah lupa dengan janjimu di dalam bungkusan sebuah puisi? Megurine, aku sendirian, aku kesepian, namun apakah kau datang? Melirikku saja mungkin tidak.
                Banyak hari telah terlewati, tapi semua hanya bisa bertambah buruk. Kau hampir tak pernah mengobrol denganku, menyapapun tidak. Semua yang telah kau lakukan benar-benar membuatku muak, marah, dan benci padamu. Namun apa daya, aku hanya seonggok debu di dalam dunia yang luas ini. Tak ada yang menginginkanku. Meskipun dunia terbuka untukku, namun aku hanya bisa terpisah darimu. Apa aku tidak berhak memiliki teman sepertimu yang dulu?
                Suatu hari aku berjalan melewati koridor utama sekolah, aku melihat beberapa seniorku yang biasa mengejekku. Saat itu aku melihat mereka mengelilingimu. Sepontan saja aku menyerukan namamu. “Megu-rine?” Aku berhenti dengan nada bertanya ketika seniorku dan kau menatapku. Tatapanmu bukanlah tatapan tertindas atau terpaksa, tanpa ragu-ragu kau mendekatiku. “Halo, Ina. Apa kabar?” tanyamu dengan nada mengejek dan sok santai. “A-aku baik-baik saja,” kataku gugup.
“Hey, kita sudah lama tidak mengobrol, hahaha”
“M-Megurine?”
“Apa?”
“Bisakah kita bicra sebentar?”
“Kita sedang melakukannya”
“Tidak..maksudku – “
“Megurine, ayo pergi, kita tak perlu sampah di sini” aku mendengar seorang dari seniorku berteriak. Megurine hanya tersenyum mengejek padaku kemudian meninggalkanku. Apa yang sudah terjadi padamu? Dulu kau selalu membelaku saat senior-senior itu mengejekku dan kau juga bilang sendiri kalau kau benci dengan mereka, tapi apa yang baru kulihat tadi? Apa yang baru kudengar tadi? “Megurine, ayo pergi, kita tak perlu sampah di sini,” Aku hanya diam terpaku dengan banyak pertanyaan di benakku. Apa maksudnya semua ini? Megurine, kau benar-benar sudah berubah.  
                Aku berjalan memasuki kelas. Kulihat kau belum datang ke kelas, aku benar-benar ingin menanyakan apa yang terjadi. Bel masuk berbunyi dan pelajaran dimulai. Aku menulis surat di secarik kertas dan kemudian kuberikan padamu.
“ Temui aku di taman depan sepulang sekolah”
-        Ina
                Sepulang sekolah, aku langsung menuuju taman depan. Kulihat kau datang bersama beberapa seniorku. “Megurine, bisakah kita bicara sendirian?” Kau diam sejenak, sebelum akhirnya menyuruh seniorku untuk meninggalkan kita.
“Megurine, apa maksudnya semua ini?”
“Apa maksudmu?”
“Apa kau lupa atas apa yang sudah kau katakan?”
“Huh?”
Aku menunjukkan puisimu itu. “Oh, puisi itu? Jadi kau menganggapnya serius?” tanyamu dengan nada enteng. “Apa? Maksudmu kau..” – “Maaf, Ina. Ini jalanku, kau tak berhak memutuskan apapun atas hidupku. Lagipula, para senior itu lebih baik dari pada kau.” Aku hanya bisa diam. Memang, aku tak berhak menuntut apapun atas hidupnya. Para senior yang sepertinya menguping dari tadi tiba-tiba keluar. “Itu benar. Kami tentunya jauh lebih baik dari pada sampah,” kata salah seorang dari mereka. “Ayo pergi, Meguine,” kata seorang yang lain sambil menggandeng Megurine.

                Keesokan harinya, mentari masih tak ingin bersinar. Selain itu, aku merasa malas masuk sekolah. Akhirnya aku memutuskan untuk membolos. Namun, kurasa itu sebuah kesalahan besar. Bukan untuk hari itu saja aku membolos, tapi dalam seminggu penuh. Aku merasa sudah cukup aku dihina ole seniorku, bahkan sekarang olehmu. Aku masih belum siap mendengar makian dari mulut kalian semua.
                Beberapa hari berlalu. Aku berpikir, apakah kau khawatir padaku? Aku tidak masuk sekolah, memberi kabar juga tidak. Empat hari kemudian, aku mendengar bel rumahku berbunyi. Aku cepat-cepat berlari menuju pintu depan dan membukanya. Betapa terkejutnya aku mengetahui bahwa itu kau. “Megurine? Apa yang kau inginkan?” – “Bolehkah aku masuk? Aku ingin mengatakan sesuatu padamu.” Aku mempersilahkanmu masuk.
“Ina, banyak hal buruk telah terjadi ahir-ahir ini, ya?”
“Ya. Aku sudah menyadainya”
“Sebenarnya aku tak ingin melakukan ini semua, tapi para senior itu memaksaku dan mengancamku”
“Maksudmu? Bukankah kau sendiri yang memutuskan itu semua?”
“Itu memang yang kukatakan, tapi..” Aku melihatmu mulai menangis.
“Maafkan aku. Aku sudah lari dari kenyataan. Aku tak tau apa yang harus kuperbuat. Aku sudah tak sanggup menghadapi senior-senior itu. Aku..Aku benar-benar bodoh! Maafkan aku!” Katamu setengah emosi. Aku hanya bisa diam melihatmu. Lalu, tiba-tiba aku teringat dengan puisimu. “Sebuah Pesan untuk Sahabat,” kataku mulai berpuisi. Aku masih benar-benar hafal dengan puisi itu.
“Hujan putih telah kembali
Membuat sepi kenangan yang sudah terjadi
Hey, katakan jika kau merasa sepi
Katakan jika kau sendiri
Aku akan datang padamu
Meski suaraku tak dapat menjamahmu
Meski langit menjadi kelabu
Aku tetap berusaha meraihmu”
Aku melihat kau mulai berhenti menangis dan menatapku. “Ina, kau masih ingat?” – “Bagaimana aku bisa lupa? Itu adalah janjimu,kan?” – “Ina..” kau tak mengatakan apa-apa dan hanya melangkah kedepan dan kemudian memelukku. “Terimakasih, Ina.”

                Hari itu telah berlalu dan kini telah mulai hari yang baru. Kita mulai memperbaiki tali persahabatan kita. Berharap agar semua akan terus baik-baik saja sampai hari esok. Kenangan itu sudah cukup mengerikan bagiku. Kenangan dimana aku selalu berteriak bahwa aku sendirian, aku kesepian dan mengharapkanmu untuk datang. Membayangkan kita berjalan di bawah pelangi yang indah, namun aku tahu semua bisa saja berubah. Aku..tidak, kita harus selalu siap akan hal itu. Aku tak ingin terjatuh seperti dulu lagi.

// Copyright © 2012 ~ Transient Piece of Life ~ //Anime-Note//Powered by Blogger // Designed by Johanes Djogan //