Newest Post
Archive for Februari 2014
Tetesan air hujan membasahi pipiku. Aku menatap kembali ke langit yang menangis. Tetesan demi tetesan terus berjatuhan, namun aku tak menghiraukannya. Aku tetap berjalan terus dan terus. Terkadang, aku juga berpikir apakan hidupku akan berubah?
“Bisakah
kau mendengarku?” tiba-tiba aku mendengar sebuah suara. Namun awalnya aku hanya
menghiraukannya, lalu suara itu terdengar lagi, kini lebih dekat dan lebih
jelas, “Bisakah kau mendengarku?”
“Siapa kau?”
“Kakak”
“Siapa kau? keluarlah”
“おねえーちゃん”[Onee-chan (kakak) ]
Aku tersentak kaget. Seorang anak kecil
berdiri di depanku. Dia tersenyum aneh, wajahnya pucat dan dia membawa sebuah
teddy bear. Dia melangkah menghampiriku lebih dekat dan mengulurkan tangannya,
memberikan boneka itu padaku. Entah apa yang terjadi, aku menerima boneka itu.
Anak kecil itupun tertawa senang dan berlar meninggalkanku. Akhirnya aku
memutuskan untuk membawa boneka itu pulang.
Malam
hari mulai turun dan bulan mulai meninggi. Malam itu aku merasa taknyenyak
dalam tidur, sampai pada pukul 03.04 dini hari, aku terbangun. Boneka teddy
bear yang awalanya kutaruh di sebelahku menghilang. Aku turun dari tempat
tidur, bermaksud untuk mencarinya, namun nihil. Aku tak menemukannya di
mana-mana. Tiba-tiba, aku mendengar suara seorang anak kecil lagi. Dia menggunakan bahasa
Jepang.
“おねえーちゃん。これが私。おねえーちゃん。身ってください。これが私。大ジョブです”
[“onee-chan. Kore ga watashi. Onee-chan.
Mitte kudasai. Kore ga watashi. Daijobu desu” (“kakak. Ini aku. Kakak.
Lihatlah. Ini aku. Jangan khawatir.)]
“Hentikan!”
Aku berteriak. Suara anak kecil itu
berhenti. Namun hal aneh mulai terjadi. Di seuah sudut kamarku aku melihat
sosok tubuh anak kecil mulai mendekat.
“おねえーちゃん?”
“Pergi! Apa yang kau inginkan?”
“Kakak. Ikutlah denganku,” kata gadis itu
tersenyum aneh. Aku memberanikan diri untuk mendekatinya. Sekali lagi gadis itu
tertawa dan dia muli meloncat keluar jendela. “Hey!” aku berteriak. Bagaimana
mungkin seorang anak kecil meloncat keluar jendela seperti itu. Ia tak mungkin
hidup, apalagi ini jendela lantai dua. Aku melihat ke bawah jendela. Anak kecil
itu tak ada. Aku hanya berpikir kemana dia pergi. Belum sempat aku membalik
badan, anak kecil itu sudah berdiri di belakangku dan selanjutnya mendorongku
ke bawah. Aku hanya bisa melihat ke jendela di tempat gadis itu memperlihatkan
wajah dan senyumnya, hal lain yang kulihat adalah gadis itu menjatuhkan sebuah
batu yang lumayan besar ke arahku bersamaan dengan teddy bearnya dan semua
berubah menjadi hitam.
“Kapan
di akan terbangun?” – “diamlah!” – “Makhluk itu benar-benar membuat masalah” –
“Diamlah!” –“baik,baik..tak perlu menyentak,” aku mendengar dua orang sedang
berbicara. Cahaya remang-remang memasuki mataku dan aku mulai melihat
sosok-sosok yang sedang berbicara. Kini aku benar-benar membuka mataku.
“Hey,hey dia telah bangun! Lihat, dia sudah bangun!” – “Ya, ya. Terserah kau
saja,” dan seseorang dari mereka berdua cemberut. “Umm... Siapa kalian?”
tanyaku. “Kami? Oh maksudmu aku? Aku adalah seorang aktris yang akan memenuhi
dunia dengan wajah cantikku! Dunia adalah panggung pertunjukan!!” Aku
melihatnya dengan ekspresi bingung.
“Permisi, abaikan saja dia. Perkenalkan, aku
Carmellos Wintersmith. Kami kemari untuk mengantarmu ke dunia Afterlife”
“Aftelife? Maksudmu?”
“Hantu itu telah membunuhmu”
“Hantu?”
“Ya. Yui, begitu kami menyebutnya. Dia
sangat pintar mengatur strategi untuk membunuh manusia”
“Apa? Maksudmu anak kecil itu?”
“Ya, begitulah. Baiklah, ayo naik ke kapal
dan kita berangkat! Dunia telah menungguku~” kata seorang yang lain sambil
mengibaskan rambut merah panjangnya. Aku hanya diam dan mengikuti perinthnya.
Kami
bertiga sudah lama menaiki kapal itu dan telah mendengar semua celotehan pria
umm.. wanita? Atau apa lah jenis kelaminnya itu. Namun, jujur saja, aku belum
mengetahui nama orang berkepala merah itu. “Umm..maaf, tapi bolehkah aku
bertanya? Apa kalian? Maksudku apa kalian juga hantu seperti Yui atau..” – “Oh,
nona.. Kami adalah malaikat kematian. Kami akan menjemputmu ke dunia Afterlife
saat kau mati~” Kata orang berkepala merah itu. “Destin, kumohon hentikan,”
kata Carmellos. Destin? Kurasa itu namanya. Beberapa jam mungkin telah berlalu
dan aku mulai melihat daratan. “Kita akan sampai,” kata Carmellos. Kami pun
berlabuh di salah satu pinggiran danau di pulau kaki gunung itu. Kabut tebal
menutupi permukaan danau. “Ikuti aku,” kata Carmellos. Aku tak berkata
sedikitpun, hanya mengikuti langkahnya.
Kami
telah berjalan cukup jauh hingga mencapai sebuah bangunan gedung yang terlihat
tua dengan lampu-lampu berwarna kuning di sekitarnya. “Tempat apa ini?”
tanyaku. “The God of Death’s Office.” Jawab Carmellos. “maksudnya?” – “Oh,
nona..setiap orang yang dikirim ke tempat ini akan diseleksi untuk masuk ke
dunia Afterlife~” jawab Destin. “maksudmu kita belum berada di dunia
afterlife?” – “Ah..kau harus bersabar, nona. Semua ada wakrunya~” lanjut
Destin. “Diamlah kalian,” kata Carmellos. Serentak kami berduapun diam.
“Apa
kalian telah membawanya?” tanya seseorang dari ruangan di seberang kami. “Ya.
Dia di sini.” Seketika itu juga, seseorang keluar dari ruangan itu. Ia mengenakan
baju seba hitam. “Ah..Reiko Nocrabell. Bagaimana? Apa kau suka tempat ini?”
tanya orang misterius itu. “Oh..uh..ya. Bagaimana anda bisa mengetahui namaku?”
– “Reiko, Reiko kecil..kami adalah malaikat kematian. Bagaimana kami bisa tidak
mengetahui namamu?” tanya orang itu balik.
“Uh..jadi..”
“Jadi, mari kita selesaikan ini. Yui
membunuhmu? Oh, kau sudah menjadi korban yang kesekian. Kami, khususnya aku
akan menanyaimu beberapa pertanyaan.”
“Tunggu! Aku punya satu pertanyaan,”
“Baiklah”
“Ada beberapa hal yang belum kuselesaikan”
“Maksudmu?”
“Ya..kau tahu?Seperti sebuah cita-cita?
Balas dendam? Atau semacamnya?”
“Biar kuberitahu, kau bisa melakukan itu
semua. Tapi kau tidak akan kembali ke sana dengan tubuhmu”
“Maksudmu?”
“Kau akan menjadi hantu”
“T-tapi..aku aku belum siap dengan dunia
Afterlife dan segalanya itu.”
“Itu bukan masalah kami”
“Tak bisakah kau melakukan sesuatu?”
“Tidak”
“Kumohon. Bantulah aku. Aku belum ingin
mati. Aku akan melakukan apapun”
“Tidak bisa”
“Ayolah. Apa kau ingin imbalan? Sebutkan
saja!”
“Imbalan tak ada gunanya bagi malaikat
kematian seperti kami”
“Kumohon..”
Pria misterius itu diam sejenak, aku tak
berhenti menatapnya. Akhirnya dia memutuskan; “Ada sebuah cara agar kau dapat
kembali ke tubuh lamamu. Pergilah ke kota di seberang pulau ini. Temui orang
yang bernama Van Hellen dan dia akan membantumu” – “Terimakasih,” jawabku
dengan suara riang. “Tapi..” lanjutnya. “jangan sampai dia berhasil menjebakmu
atau menaklukanmu” –“maksudmu?” – “kau akan mengerti, Reiko. Secepatnya. Lebih
baik kau menyusun strategi untuk itu.” Aku diam memikirkan kata-kata orang
misterius itu yang kini telah pergi ke balik ruangan itu lagi. “Kenapa kita tak
berangkat?” tanya Destin. Dengan ketdakpastian, aku menganggukkan kepalaku.
Beberapa
jam mungkin telah berlalu. Setelah lama menaiki kapal tua itu, akhirnya kami
sampai di sebuah pulau untuk dilabuhi. “Inikah tempatnya?” – “Hmm..kurasa iya~”
jawab Destin. “Ayolah kalian. Cepat! Aku masih mempunyai pekerjaan lain,” kata
Carmellos yang sudah berjalan lebih dulu. “Hey, Carmellos? Apa kau pernah ke
tempat ini?” – “ya. Beberapa waktu lalu ada juga arwah yang masih ingin kembali
ke tubuhnya” – “Lalu apa yang terjadi padanya?” – “Dia tertransfer ke dimensi
lain” – “Bagaimna bisa?” – “itulah kenapa kita harus bisa menaklukkan
pikirannya,” aku hanya diam. Bagaimana aku bisa menaklukkan pikrannya? Aku
bahkan tak tau bagaimana Van Hellen. “Kita sampai,” kata Caemellos. Aku
meneliti bangunan itu baik baik. Besar, kotor, tua, dan bercat hitam dari pagar
sampai bangunannya. “Inikah?” tanyaku tak percaya. “Ayo masuk,” kata Carmellos
mengabaikan pertanyaanku.
Pikiranku
terpaku, Bagaimana aku bisa menaklukkan
pikrannya? Aku bahkan tak tau bagaimana Van Hellen. Kakiku mulai gemetar
melangkah ke rumah tua itu. Aku sampai di depan pintunya dan Destin membunyikan
bel. Pintu besar itu langsung terbuka. Tanpa berkata apa-apa, Carmellos
memasuki bangunan itu, diikuti dengan Destin dan aku yang terakhir. Aku melihat
sosok manusia berdiri di ujung tangga mengenakan jubah hitam panjang. Aku
kemudian berbisisk pada Destin, “Apa itu Van Hellen?” – “Dimana? Aku tak
melihat apapun,”jawabnya. “Hati-hati. Van Hellen memiliki banyak jebakan di
rumahnya. Itulah mengapa kita harus bisa mengalahkan pikiran dan menyusun
strategi untuk melewatinya,” jelas Carmellos. Kata-kata Carmellos menyadarkanku
bahwa yang kulihat tadi hanyalah ilusi. “Jangan dengarkan suara apapun, jangan
ragu-ragu dengan langkahmu, jangan percaya pada penglihatanmu, jangan percaya
pada pendengaranmu dan satu lagi yang paling penting, berhati-hatilah, jangan
lengah, siapapun bisa terkirim ke dimensi lain termasuk juga kita, malaikat
kematian,” jelas Carmellos. “Semua yang kita lihat di sini hanyalah ilusi. Van
Hellen yang asli ada di ruangan tersembunyi,” lanjutnya.
Beberapa
menit kami berjalan, tiba-tiba terdengar suara alunan musik. “Jangan dengarkan
alunan itu,” kata Carmellos. Aku langsung menutup telingaku, berusaha
mengbaikan alunan itu. Sudah lama kami bertiga berjalan berkeliling di dalam
rumah besar itu. Membuka tiap-tiap pintu di dinding-dinging tiap tingkatnya
sampai akhirnya, kami menemukan sebuah pintu besar tersendiri di tingkat paling
atas rumah itu. “Ayo masuk,” kata Carmellos. Aku dan Destin mengikutinya dari
belakang.
“Wah..wah..wah..siapa
yang datang? Selamat untuk kalian,” kata seseorang setelah kami memasuki
ruangan itu. “Van Hellen?” pikirku. “Benar sekali, nona,” kata orang itu tadi.
“Apa? Kau bisa membaca pikiranku?”
“Tidak. Aku hanya membaca ekspresimu. Apa
yang kau inginkan?”
“Aku..aku ingin hidup kembali”
“Hidup kembali? Heheheh..menurutmu semudah
itu?”
Aku hanya diam, tak tahu harus menjawab
apa. Suasana menjadi hening, sampai Van Hellen berbicara lagi,”Baiklah,
baiklah. Heheheh, aku akan membantumu,” – “Kau tidak akan menipuku,kan?” tanyaku.
“Wah, kau memang gadis yang pintar. Aku sedang berbaik hati hari ini, jadi
jangan menganggapku akan membohongimu. Heheheh.” Tentu aku tidak begitu percaya
pada perkataannya, namun bagaimanapun juga aku tetap mengandalkan kemampuannya.
Van Hellen berjalan mundur dan duduk di kursi besarnya, kemudian membuka sebuah
buku. Angin mulai bertiup kencang seakan ingin membawaku. Pandanganku mulai
kabur.
“Reiko!
Reiko! Cepatlah! Kau akan terlambat!” aku mendengar ibuku berteriak. Aku
langsung membuka mataku. “Apa? Apa itu tadi mimpi? Setiap halnya terasa nyata”
pikirku. Kulihat ke samping tempat tidurku, tak ada boneka teddy bear di sana.
Aku cepat-cepat memeriksa ke luar jendela, namun tidak mendapati apapun. Aku
makin bingung apa yang terjadi, namun biarlah bahkan pengarang cerita inipun
bingung mau dibawa kemana cerita ini. :P
Hey! I think it have been a while since I post my draw.. here's some of them which I decided to sell :)