Purple Bobblehead Bunny Mei 2014 ~ Transient Piece of Life ~: Mei 2014

Newest Post

Archive for Mei 2014


“Akankah suatu saat aku berubah?”

                “Tak menyukai siapapun?” tanya Revi meyakinkan. “Ya, tak siapapun,” kataku masih berbohong. Kata-kata di dalam hatiku sudah menari-nari, memaksaku mengakui perasaan ini. Tidak, aku belum bisa. “Jadi, maukah kau..menjadi kekasihku?” tanya Revi mengagetkanku.
“A-apa?”
“Kau masih tak mengerti? Maukah kau menjadi kekasihku?”
“Mmm..aku..tapi aku belum ingin..”
“Nelia. Kumohon..”
Aku sudah berjanji dulu, aku tak akan menerima siapapun sebelum Calvin benar-benar bisa kulepas. Tapi, apa sekarang sudah saatnya? Jika ya, kenapa aku masih merasa sakit saat aku melihatnya dengan Stella? “Maaf, Revi. Aku belum bisa,” kataku. “Tapi..” – “Aku akan memberitahumu jika aku siap,” kataku tersenyum sembari meninggalkannya. Kulihat juga Revi tersenyum padaku, melihat harapan rahasia yang entah kapan datangnya.
                Aku berlari kembali menuju pantai. Kulihat Afika, Stella dan Calvin melambai ke arahku, memanggilku untuk mendekat. “Hey, dimana Revi?” tanya Calvin. “Dia? Oh, dia tadi ke super market membeli minuman,” kataku. Sakit..meski aku hanya melihat Calvin dan Stella duduk bersebelahan sambil bercakap-cakap satu sama lain, tapi perasaan ini selalu menekanku. “Nelia, bisa antarkan aku sebentar?” tanya Stella. “Oh, tentu,” jawabku. Kami berjalan menjauhi Afika dan Calvin, sepertinya menuju ke kamar mandi. Sesampainya di sana, Stella langsung menarikku ke sudut tembok. “Apa yang kau inginkan?” tanyanya tiba-tiba. “A-apa maksudmu?” tanyaku tergagap.
“Apa maksudku? Kenapa kau selalu mengamati Calvin? Kau tahu, dia merasa terganggu!”
“Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku tak pernah bermaksud mengamatinya”
“Terserah, ada hal yang bisa kau lakukan”
“…”
“Jauhi Calvin, jauhi kehidupan kami”
Jauhi Calvin? Apa aku bisa? Stella terlihat meninggalkanku sendirian. Aku terjatuh lemas di lantai. Kata-katanya masih menggema di telingaku. “Jauhi Calvin,” tapi apa aku bisa?
                Mentari sore terbenam, meninggalkan sakit hati yang mendalam. Kutatap langit malam, senandung nada semu yang keluar dari mulutku membuatku semakin ingin menangis. “Nelia? Kau menangis?” tanya Calvin. Aku melihat ke arahnya sejenak, teringat oleh permintaan Stella. Aku berlari secepat mungkin, meninggalkannya sendirian. Bodoh! Kenapa aku malah ingin bersamanya? Kuhentikan langkahku. Aku sendiri sekarang. Di seberang, kulihat Afika menatap ke arahku. Aku menyongsongnya, memeluknya dan menangis di pundaknya. “Afika..” kataku sambil menangis. “Ada apa?” tanyanya bingung. “Stella..dia..dia..” aku tak sanggup mengatakannya, sakit hati yang dalam membuatku hanya bisa menangis. “Nelia?” suara Calvin terdengar di telingaku, aku menoleh ke belakang, kulihat Calvin berdiri bingung menatapku. Aku berusaha berlari, namun Afika menahanku. Memang, hanya menangis yang bisa kulakukan. “Nelia? Apa kau baik-baik saja?” tanya Calvin. Aku hanya diam saja. “Ada sedikit masalah. Tapi, semua akan baik-baik saja kok,” jawab Afika sambil menuntuknku ke kamar.
                Sesampainya di kamar, aku langsung menjadi. Tangaisan sudah tak bisa kubendung. “Afika..hiks..Stella..Stella,” aku tak bisa melanjutkan kata-kataku. “Sudahlah, Nelia,” hibur Afika sambil memeluku. Lumayan lama aku menangis dan sekarang akhirnya aku bisa mengentikan tangisanku. “Apa kau menu bercerita sekarang?” tanya Afika. Aku mengangguk. “Stella..Stella menyuruhku untuk menjauhi Calvin juga dirinya,” jelasku. Afika terdiam. Mungkin dia tahu perasaan Stella, bukan, aku juga tahu. Dia pasti tak ingin Calvin terlepas darinya.
                Malam itu aku tertidur di kamar Afika. Pikiranku masih tak tenang. Teringat semua kenangan menyakitkan di balik cahaya. Berteriak tentang masa lalu dari kejauhan. Mengapa aku masih mencoba menyayangi seseorang yang menyakitiku? Jam di dalam diriku telah berhenti sejak saar itu. Menghentikan perasaan di dalam diriku. Aku tak akan berubah.
Pagi itu aku sangat tak bersemangat, masih berusaha menghindari kedua Calvin dan Stella.  Sungguh menyakitkan ketika melihat mereka berdua dimana aku tak dapat mendekati mereka. Suaraku semakin semu, ditiup angin menjauh. Dilupakan oleh temanku sendiri. Aku berbalik dan menutupi telingaku, melupakan segala kesedihan itu.
                “Nelia, kereta pulang akan datang pukul 12.00 nanti, kita harus bersiap-siap,” kata Afika. “Ya,” hanya itu yang kuucapkan sambil memasukkan barang-barangku ke dalam koper. Di kereta, aku duduk bersama dengan Revi, di hadapanku ada Calvin dan Stella. “Aku mau ke toilet dulu,” kata Stella mengajak Afika untuk mengantarnya, menyisakan tiga orang, aku, Calvin dan Revi. Aku menatap ke luar jendela. Lautan biru terlihat luas, ombak datang menyapu pantai, mengingatkanku akan perkataan Stella di pantai itu. “Nelia? Kau menangis?” tanya Revi dan Calvin. “Ah, tidak. Hehehe,” jawabku sambil menghapus air mata yang tak sadar sudah menuruni pipiku. “Tidak, kau menangis,” kata Revi. Tidak, aku tidak apa-apa. “Sudahlah, jangan sok kuat, ada apa?” tanya Calvin. “jangan memutuskan aku lemah karena aku menangis,” gumamku, kemudian pergi menuju ke toilet. Aku menangis di dalam toilet kecil itu. Tak sanggup lagi menahan air mataku. Aku benar-benar cengeng. Aku tak bisa melepaskan Calvin meskipun tetap menyukainya juga menyakitiku. “Apa yang harus kulakukan?” gumamku.

Life’s Fortune (Pt. 2)

Rabu, 28 Mei 2014
Posted by Unknown


“ Aku tak ingin menjadi seperti seekor Burung Elang yang kuat perkasa ataupun kupu-kupu yang cantik. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri.”

                Kulihat kau sedang duduk memeluk lutut di sana, di sebuah gazebo di pantai itu, mengamati ombak yang datang menyapu pantai. Terbayang di benakku untuk mendekatimu dan berbincang-bincang denganmu. Namun sebelum aku sempat mendekatimu,  gadis itu datang, mengambil jalanku untuk mendekatimu. Aku mengejarnya, berusaha lebih dahulu menyongsongmu. “Calvin!” teriak gadis itu. Rambut hitam lurusnya tertiup angin dengan indahnya. Aku menghentikan langkahku saat kau menoleh ke arah kami. Rasa sakit timbul di dada saat gadis itu mendekatimu, tersenyum ke arahmu. Sebuah memori yang sudah lama ingin kulupakan sejak saat itu. Hanya umpatan-unpatan yang tak tega keluar dari mulutku.
                “Hahaha, aku sungguh tak pernah melihatnya sebahagia itu,” kataku menghibur diri sambil mendekati Calvin dan kekasihnya, Stella. “Hey, Nelia,” sapa Calvin yang sedang memeluk kekasihnya. “Omong-omong, aku mau menyiapkan makan malam dulu ya,” kataku sembari pergi meninggalkan mereka. Aku tak bodoh, oleh karena itu aku tahu apa yang kurasakan saat ini. Namun aku tak mau mengakuinya.
                Malam itu kami memasak babeque untuk makan malam. Kami sesungguhnya sedang menikmati liburan musim panas kami di salah satu pantai terdekat, menginap di sebuah resort sederhana di pinggiran pantai. Tentu, hanya ada lima orang di antara kami, aku, Calvin, Stella, Revi, dan Afika. Kami memang sering melakukan ini sejak masuk SMA. Hari telah makin larut, kami berenam memasuki kamar masing-masing dan mulai tertidur nyenyak.
                Mentari pagi yang ingin menyambutku gagal, didahului oleh Afika yang menggebyor air ke atas mukaku. “Afika!?” teriakku. “Ups, maaf..hehehe,” katanya polos. “omong-omong, Nelia..bagaimana perkembanganmu dengan Calvin?” tanyanya lagi. Jujur, aku tidak ingin mengakui hal ini. Bodohnya aku menyukai seseorang yang sudah memiliki orang lain di hatinya. Aku sempat bertanya kenapa aku tidak menyukai orang yang juga menyukaiku, Revi? “umm..sudahlah, aku tidak menyukai Calvin,” kataku. “Ayolah, aku tahu kau masih mengharapkannya. Kau tahu, tidak ada salahnya kau menyukai orang,” kata Afika lagi. “Tapi..Stella,” gumamku. “Meski dia sudah menyukai orang lain. Kau tahu, suatu saat keberuntungan hidupmu akan datang,” lanjut Afika tak menghiraukan gumamanku.
                Siang itu, kami melanjutkan liburan kami, sesekali aku melirik ke arah Calvin yang selalu bersama-sama dengan Stella. Meski mulutku mengakui aku tak menyukainya, namun dia terlihat seperti benda yang kusuka yang akan kulirik tiap saat ada kesempatan. “Nelia, mau main voli?” tanya Revi. “Tapi..yang lain mana?” tanyaku. “Iya, tunggu saja dulu. Omong-omong bisa antarkan aku ke super market di sana? Aku mau membeli minuman,” pintanya. “baiklah,” kataku menyetujui. Kami sudah beberapa meter dari pantai, namun bukan super market yang kutemui, sebuah tebing yang indah. Revi membalikkan badan dan mengatakan sesuatu padaku,
“Nelia..sebenarnya, aku telah menyukaimu sejak lama”
“eh?”
“jadi, apa kau juga merasakan hal yang sama terhadapku?”
“Aku..aku tak tahu”

Revi terdiam sejenak. Sepertinya ia berpikir. Aku tentunya hanya diam saja, kemudian, mulutku mengeluarkan kata-kata yang sebenarnya tak ingin kuucapkan. “Sesungguhnya..aku menyukai orang lain.” Revi tersentak kaget. “Siapa?” tanyanya. “Aku..aku tak menyukai siapapun,” kataku setelah tersadar kemudian menutup mulutku. Maaf, maafkan aku. Aku tak bisa mengakuinya. Aku tak ingin menyakiti temanku sendiri. Tidak Calvin maupun Stella. Aku akan melepaskannya meski aku ingin menjadi diriku sendiri.

Life’s Fortune

Senin, 19 Mei 2014
Posted by Unknown

// Copyright © 2012 ~ Transient Piece of Life ~ //Anime-Note//Powered by Blogger // Designed by Johanes Djogan //