Purple Bobblehead Bunny Life’s Fortune (Pt. 2) ~ Transient Piece of Life ~: Life’s Fortune (Pt. 2)

Newest Post

// Posted by :Unknown // On :Rabu, 28 Mei 2014


“Akankah suatu saat aku berubah?”

                “Tak menyukai siapapun?” tanya Revi meyakinkan. “Ya, tak siapapun,” kataku masih berbohong. Kata-kata di dalam hatiku sudah menari-nari, memaksaku mengakui perasaan ini. Tidak, aku belum bisa. “Jadi, maukah kau..menjadi kekasihku?” tanya Revi mengagetkanku.
“A-apa?”
“Kau masih tak mengerti? Maukah kau menjadi kekasihku?”
“Mmm..aku..tapi aku belum ingin..”
“Nelia. Kumohon..”
Aku sudah berjanji dulu, aku tak akan menerima siapapun sebelum Calvin benar-benar bisa kulepas. Tapi, apa sekarang sudah saatnya? Jika ya, kenapa aku masih merasa sakit saat aku melihatnya dengan Stella? “Maaf, Revi. Aku belum bisa,” kataku. “Tapi..” – “Aku akan memberitahumu jika aku siap,” kataku tersenyum sembari meninggalkannya. Kulihat juga Revi tersenyum padaku, melihat harapan rahasia yang entah kapan datangnya.
                Aku berlari kembali menuju pantai. Kulihat Afika, Stella dan Calvin melambai ke arahku, memanggilku untuk mendekat. “Hey, dimana Revi?” tanya Calvin. “Dia? Oh, dia tadi ke super market membeli minuman,” kataku. Sakit..meski aku hanya melihat Calvin dan Stella duduk bersebelahan sambil bercakap-cakap satu sama lain, tapi perasaan ini selalu menekanku. “Nelia, bisa antarkan aku sebentar?” tanya Stella. “Oh, tentu,” jawabku. Kami berjalan menjauhi Afika dan Calvin, sepertinya menuju ke kamar mandi. Sesampainya di sana, Stella langsung menarikku ke sudut tembok. “Apa yang kau inginkan?” tanyanya tiba-tiba. “A-apa maksudmu?” tanyaku tergagap.
“Apa maksudku? Kenapa kau selalu mengamati Calvin? Kau tahu, dia merasa terganggu!”
“Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku tak pernah bermaksud mengamatinya”
“Terserah, ada hal yang bisa kau lakukan”
“…”
“Jauhi Calvin, jauhi kehidupan kami”
Jauhi Calvin? Apa aku bisa? Stella terlihat meninggalkanku sendirian. Aku terjatuh lemas di lantai. Kata-katanya masih menggema di telingaku. “Jauhi Calvin,” tapi apa aku bisa?
                Mentari sore terbenam, meninggalkan sakit hati yang mendalam. Kutatap langit malam, senandung nada semu yang keluar dari mulutku membuatku semakin ingin menangis. “Nelia? Kau menangis?” tanya Calvin. Aku melihat ke arahnya sejenak, teringat oleh permintaan Stella. Aku berlari secepat mungkin, meninggalkannya sendirian. Bodoh! Kenapa aku malah ingin bersamanya? Kuhentikan langkahku. Aku sendiri sekarang. Di seberang, kulihat Afika menatap ke arahku. Aku menyongsongnya, memeluknya dan menangis di pundaknya. “Afika..” kataku sambil menangis. “Ada apa?” tanyanya bingung. “Stella..dia..dia..” aku tak sanggup mengatakannya, sakit hati yang dalam membuatku hanya bisa menangis. “Nelia?” suara Calvin terdengar di telingaku, aku menoleh ke belakang, kulihat Calvin berdiri bingung menatapku. Aku berusaha berlari, namun Afika menahanku. Memang, hanya menangis yang bisa kulakukan. “Nelia? Apa kau baik-baik saja?” tanya Calvin. Aku hanya diam saja. “Ada sedikit masalah. Tapi, semua akan baik-baik saja kok,” jawab Afika sambil menuntuknku ke kamar.
                Sesampainya di kamar, aku langsung menjadi. Tangaisan sudah tak bisa kubendung. “Afika..hiks..Stella..Stella,” aku tak bisa melanjutkan kata-kataku. “Sudahlah, Nelia,” hibur Afika sambil memeluku. Lumayan lama aku menangis dan sekarang akhirnya aku bisa mengentikan tangisanku. “Apa kau menu bercerita sekarang?” tanya Afika. Aku mengangguk. “Stella..Stella menyuruhku untuk menjauhi Calvin juga dirinya,” jelasku. Afika terdiam. Mungkin dia tahu perasaan Stella, bukan, aku juga tahu. Dia pasti tak ingin Calvin terlepas darinya.
                Malam itu aku tertidur di kamar Afika. Pikiranku masih tak tenang. Teringat semua kenangan menyakitkan di balik cahaya. Berteriak tentang masa lalu dari kejauhan. Mengapa aku masih mencoba menyayangi seseorang yang menyakitiku? Jam di dalam diriku telah berhenti sejak saar itu. Menghentikan perasaan di dalam diriku. Aku tak akan berubah.
Pagi itu aku sangat tak bersemangat, masih berusaha menghindari kedua Calvin dan Stella.  Sungguh menyakitkan ketika melihat mereka berdua dimana aku tak dapat mendekati mereka. Suaraku semakin semu, ditiup angin menjauh. Dilupakan oleh temanku sendiri. Aku berbalik dan menutupi telingaku, melupakan segala kesedihan itu.
                “Nelia, kereta pulang akan datang pukul 12.00 nanti, kita harus bersiap-siap,” kata Afika. “Ya,” hanya itu yang kuucapkan sambil memasukkan barang-barangku ke dalam koper. Di kereta, aku duduk bersama dengan Revi, di hadapanku ada Calvin dan Stella. “Aku mau ke toilet dulu,” kata Stella mengajak Afika untuk mengantarnya, menyisakan tiga orang, aku, Calvin dan Revi. Aku menatap ke luar jendela. Lautan biru terlihat luas, ombak datang menyapu pantai, mengingatkanku akan perkataan Stella di pantai itu. “Nelia? Kau menangis?” tanya Revi dan Calvin. “Ah, tidak. Hehehe,” jawabku sambil menghapus air mata yang tak sadar sudah menuruni pipiku. “Tidak, kau menangis,” kata Revi. Tidak, aku tidak apa-apa. “Sudahlah, jangan sok kuat, ada apa?” tanya Calvin. “jangan memutuskan aku lemah karena aku menangis,” gumamku, kemudian pergi menuju ke toilet. Aku menangis di dalam toilet kecil itu. Tak sanggup lagi menahan air mataku. Aku benar-benar cengeng. Aku tak bisa melepaskan Calvin meskipun tetap menyukainya juga menyakitiku. “Apa yang harus kulakukan?” gumamku.

// Copyright © 2012 ~ Transient Piece of Life ~ //Anime-Note//Powered by Blogger // Designed by Johanes Djogan //