Newest Post
Archive for 2014
I still remember when I and Nana covered our first song.. Kokoro no Inryoku from ClariS..ha,it's my favorite since we got a better recorder :p but it's only vocal recording.. Here it is.. Kokoro no Inryoku by MiNa
Oh, anyway..today's my birthday! yay! I got some dolls for my birthday :p
And..aku juga butuh inspirasi buat cerpen baru,,HELP!~I need some inspirations for my new short story
Hey! I'm Michi, member of MiNa, the owner of this blog. Anyway, I've tried to cover "solo". I sang Tenshi no Shippo by AKB48. Hahaha, I start to like AKB48 lately. Wanna hear it? it's here..on SoundCloud and on 4shared ^^ enjoy~!
Kasih itu menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, memaafkan setiap kesalahan, dan sabar menanggung segala sesuatu. Di satu titik, aku ingin menjadi seperti kasih, seperti kasih yang sejati. Namun perasaan manusia ini selalu dipenuhi dengan iri, dengki. Aku tak bisa mengontrol segalanya. Ingatanku seakan tak terarah, aku sadar namun tak sadar. Sebuah kesadaran semu yang ada di depan mata. Suatu saat ketika aku benar-benar menyadarinya, aku akan merasa sangat menyesal padanya. Apakah aku kesalahan di balik semua ini? Ataukah itu memang dia?
Pagi itu benar-benar tak pernah kuduga, simfoni bunga sakura mengalun indah bersama dengan berhembusnya angin. Pagi yang cerah, awal musim semi di kotaku. Sungguh cerah, namun tak secerah hatiku. Kau bisa menilaiku sebagai gadis yang ceria, namun jangan coba kau intip ke dalam. Kau akan menemukan hal yang seharusnya tak di sana. Mungkin sebagian telah menjadi mozaik beku dan cangkang telur yang keras, mungkin sebagian lainnya telah meleleh. Di balik topeng ceria yang selalu menghiburmu, sebuah tangisan keras meluncat keluar dari bibirku.
Siang itu juga indah, siang saat matahari menyilaukan mataku di musim panas. Sebuah bunga senyuman juga mekar di mulutku, namun aku telah mengalahkan air hujan dengan air mataku hingga aku tak bisa menangis lagi. Terkadang aku bertanya, kapankah aku bisa bangkit? Sekali kala aku mempercayainya segenap hatiku, sekali ia menghianatiku dan begitu seterusnya. Kucoba tutupi perasaan sedihku ini di hadapannya, berusaha tak berburuk sangka saat melihatnya berlarian di tepi pantai.
Sore itu sangat menawan, daun-daun berguguran menemani senja di tepi danau. Cahaya kuning mentari yang hangat menyiram tubuhku. Akankah aku juga bercahaya dan menghangatkan seperti itu? Kata-kata maafmu masih berdengung di telingaku dan sekali lagi aku memaafkannya. Kapankah aku berdamai dengan hatiku? Aku selalu berharap, tak peduli meski itu harapan palsu. Saat aku sendiri, aku selalu menangis. Mengingat apa yang terjadi hari ini, aku mulai membenci diriku.
Malam itu tenang, bintang-bintang salju berkilauan berjatuhan di depan jendelaku, mengintip bagian mozaik di dalam hatiku. Bahkan mozaikku lebih beku dari bintang salju itu. Apa yang terjadi padaku? Aku terlalu lama memendam rasa ini hingga jam di dalam diriku berhenti, meninggalkan sebuah mozaik beku. Aku telah bersabar dalam empat musim ini dan akahkah aku terus begini?
Angin meniup rambutku lembut, membiarkan air mataku mengering. Dia, apakah dia tetap di sini? Kurasa ya, tapi dia juga memasuki level baru dimana aku tak bisa mengejarnya. Mungkin aku akan tetap berada di dalam dunia empat musim ini, dimana lingkaran itu akan terulang lagi. Aku memegang harapan ini, berharap janjinya dulu tersampaikan. Oh, datanglah padaku janji yang membosankan.
Tag :// Konten Tambahan,
Tag :// Story
Hey hey hey..we, MiNa have covered another song..Kono Namida wo Kimi ni Sasagu by No Name..uwahahaha..I'm so excited with this >.< wanna see? Click here!
Hey! I just started my "covering songs" activity with my friend, Nana. We both covering japanese song. Unfortunately one of our cover song isn't able to be uploaded so... Yeah, we just uploaded the other one. Hehe..wanna check it out? Okay, here's the profile of MiNa! Enjoy ;) and here's the 4shared link..
Tag :// Cosplay,
Tag :// Others
“Akankah suatu saat aku berubah?”
“Tak
menyukai siapapun?” tanya Revi meyakinkan. “Ya, tak siapapun,” kataku masih
berbohong. Kata-kata di dalam hatiku sudah menari-nari, memaksaku mengakui
perasaan ini. Tidak, aku belum bisa. “Jadi, maukah kau..menjadi kekasihku?”
tanya Revi mengagetkanku.
“A-apa?”
“Kau masih tak mengerti? Maukah kau
menjadi kekasihku?”
“Mmm..aku..tapi aku belum ingin..”
“Nelia. Kumohon..”
Aku sudah berjanji dulu, aku tak akan menerima siapapun
sebelum Calvin benar-benar bisa kulepas. Tapi, apa sekarang sudah saatnya? Jika
ya, kenapa aku masih merasa sakit saat aku melihatnya dengan Stella? “Maaf,
Revi. Aku belum bisa,” kataku. “Tapi..” – “Aku akan memberitahumu jika aku
siap,” kataku tersenyum sembari meninggalkannya. Kulihat juga Revi tersenyum
padaku, melihat harapan rahasia yang entah kapan datangnya.
Aku
berlari kembali menuju pantai. Kulihat Afika, Stella dan Calvin melambai ke
arahku, memanggilku untuk mendekat. “Hey, dimana Revi?” tanya Calvin. “Dia? Oh,
dia tadi ke super market membeli minuman,” kataku. Sakit..meski aku hanya
melihat Calvin dan Stella duduk bersebelahan sambil bercakap-cakap satu sama
lain, tapi perasaan ini selalu menekanku. “Nelia, bisa antarkan aku sebentar?”
tanya Stella. “Oh, tentu,” jawabku. Kami berjalan menjauhi Afika dan Calvin,
sepertinya menuju ke kamar mandi. Sesampainya di sana, Stella langsung
menarikku ke sudut tembok. “Apa yang kau inginkan?” tanyanya tiba-tiba. “A-apa
maksudmu?” tanyaku tergagap.
“Apa maksudku? Kenapa kau selalu
mengamati Calvin? Kau tahu, dia merasa terganggu!”
“Aku tidak bermaksud seperti itu.
Aku tak pernah bermaksud mengamatinya”
“Terserah, ada hal yang bisa kau
lakukan”
“…”
“Jauhi Calvin, jauhi kehidupan
kami”
Jauhi Calvin? Apa aku bisa? Stella terlihat meninggalkanku
sendirian. Aku terjatuh lemas di lantai. Kata-katanya masih menggema di
telingaku. “Jauhi Calvin,” tapi apa aku bisa?
Mentari
sore terbenam, meninggalkan sakit hati yang mendalam. Kutatap langit malam,
senandung nada semu yang keluar dari mulutku membuatku semakin ingin menangis.
“Nelia? Kau menangis?” tanya Calvin. Aku melihat ke arahnya sejenak, teringat
oleh permintaan Stella. Aku berlari secepat mungkin, meninggalkannya sendirian.
Bodoh! Kenapa aku malah ingin bersamanya? Kuhentikan langkahku. Aku sendiri
sekarang. Di seberang, kulihat Afika menatap ke arahku. Aku menyongsongnya,
memeluknya dan menangis di pundaknya. “Afika..” kataku sambil menangis. “Ada
apa?” tanyanya bingung. “Stella..dia..dia..” aku tak sanggup mengatakannya,
sakit hati yang dalam membuatku hanya bisa menangis. “Nelia?” suara Calvin
terdengar di telingaku, aku menoleh ke belakang, kulihat Calvin berdiri bingung
menatapku. Aku berusaha berlari, namun Afika menahanku. Memang, hanya menangis
yang bisa kulakukan. “Nelia? Apa kau
baik-baik saja?” tanya Calvin. Aku hanya diam saja. “Ada sedikit masalah. Tapi,
semua akan baik-baik saja kok,” jawab Afika sambil menuntuknku ke kamar.
Sesampainya di kamar, aku
langsung menjadi. Tangaisan sudah tak bisa kubendung. “Afika..hiks..Stella..Stella,”
aku tak bisa melanjutkan kata-kataku. “Sudahlah, Nelia,” hibur Afika sambil
memeluku. Lumayan lama aku menangis dan sekarang akhirnya aku bisa mengentikan
tangisanku. “Apa kau menu bercerita sekarang?” tanya Afika. Aku mengangguk. “Stella..Stella
menyuruhku untuk menjauhi Calvin juga dirinya,” jelasku. Afika terdiam. Mungkin
dia tahu perasaan Stella, bukan, aku juga tahu. Dia pasti tak ingin Calvin
terlepas darinya.
Malam itu aku tertidur di kamar
Afika. Pikiranku masih tak tenang. Teringat semua kenangan menyakitkan
di balik cahaya. Berteriak tentang masa lalu dari kejauhan. Mengapa aku masih
mencoba menyayangi seseorang yang menyakitiku? Jam di dalam diriku telah
berhenti sejak saar itu. Menghentikan perasaan di dalam diriku. Aku tak akan
berubah.
Pagi itu aku sangat tak bersemangat, masih berusaha
menghindari kedua Calvin dan Stella.
Sungguh menyakitkan ketika melihat mereka berdua dimana aku tak dapat
mendekati mereka. Suaraku semakin semu, ditiup angin menjauh. Dilupakan oleh
temanku sendiri. Aku berbalik dan menutupi telingaku, melupakan segala
kesedihan itu.
“Nelia,
kereta pulang akan datang pukul 12.00 nanti, kita harus bersiap-siap,” kata
Afika. “Ya,” hanya itu yang kuucapkan sambil memasukkan barang-barangku ke
dalam koper. Di kereta, aku duduk bersama dengan Revi, di hadapanku ada Calvin
dan Stella. “Aku mau ke toilet dulu,” kata Stella mengajak Afika untuk
mengantarnya, menyisakan tiga orang, aku, Calvin dan Revi. Aku menatap ke luar
jendela. Lautan biru terlihat luas, ombak datang menyapu pantai, mengingatkanku
akan perkataan Stella di pantai itu. “Nelia? Kau menangis?” tanya Revi dan
Calvin. “Ah, tidak. Hehehe,” jawabku sambil menghapus air mata yang tak sadar
sudah menuruni pipiku. “Tidak, kau menangis,” kata Revi. Tidak, aku tidak
apa-apa. “Sudahlah, jangan sok kuat, ada apa?” tanya Calvin. “jangan memutuskan
aku lemah karena aku menangis,” gumamku, kemudian pergi menuju ke toilet. Aku
menangis di dalam toilet kecil itu. Tak sanggup lagi menahan air mataku. Aku
benar-benar cengeng. Aku tak bisa melepaskan Calvin meskipun tetap menyukainya
juga menyakitiku. “Apa yang harus kulakukan?” gumamku.
Tag :// Konten Tambahan,
Tag :// Life's Fortune,
Tag :// Ongoing,
Tag :// Original Character,
Tag :// Story
“ Aku tak ingin menjadi seperti seekor Burung Elang yang kuat
perkasa ataupun kupu-kupu yang cantik. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri.”
Kulihat
kau sedang duduk memeluk lutut di sana, di sebuah gazebo di pantai itu,
mengamati ombak yang datang menyapu pantai. Terbayang di benakku untuk
mendekatimu dan berbincang-bincang denganmu. Namun sebelum aku sempat
mendekatimu, gadis itu datang, mengambil
jalanku untuk mendekatimu. Aku mengejarnya, berusaha lebih dahulu
menyongsongmu. “Calvin!” teriak gadis itu. Rambut hitam lurusnya tertiup angin
dengan indahnya. Aku menghentikan langkahku saat kau menoleh ke arah kami. Rasa
sakit timbul di dada saat gadis itu mendekatimu, tersenyum ke arahmu. Sebuah
memori yang sudah lama ingin kulupakan sejak saat itu. Hanya umpatan-unpatan
yang tak tega keluar dari mulutku.
“Hahaha,
aku sungguh tak pernah melihatnya sebahagia itu,” kataku menghibur diri sambil
mendekati Calvin dan kekasihnya, Stella. “Hey, Nelia,” sapa Calvin yang sedang
memeluk kekasihnya. “Omong-omong, aku mau menyiapkan makan malam dulu ya,”
kataku sembari pergi meninggalkan mereka. Aku tak bodoh, oleh karena itu aku
tahu apa yang kurasakan saat ini. Namun aku tak mau mengakuinya.
Malam
itu kami memasak babeque untuk makan malam. Kami sesungguhnya sedang menikmati
liburan musim panas kami di salah satu pantai terdekat, menginap di sebuah
resort sederhana di pinggiran pantai. Tentu, hanya ada lima orang di antara
kami, aku, Calvin, Stella, Revi, dan Afika. Kami memang sering melakukan ini
sejak masuk SMA. Hari telah makin larut, kami berenam memasuki kamar
masing-masing dan mulai tertidur nyenyak.
Mentari
pagi yang ingin menyambutku gagal, didahului oleh Afika yang menggebyor air ke
atas mukaku. “Afika!?” teriakku. “Ups, maaf..hehehe,” katanya polos.
“omong-omong, Nelia..bagaimana perkembanganmu dengan Calvin?” tanyanya lagi.
Jujur, aku tidak ingin mengakui hal ini. Bodohnya aku menyukai seseorang yang
sudah memiliki orang lain di hatinya. Aku sempat bertanya kenapa aku tidak
menyukai orang yang juga menyukaiku, Revi? “umm..sudahlah, aku tidak menyukai
Calvin,” kataku. “Ayolah, aku tahu kau masih mengharapkannya. Kau tahu, tidak
ada salahnya kau menyukai orang,” kata Afika lagi. “Tapi..Stella,” gumamku.
“Meski dia sudah menyukai orang lain. Kau tahu, suatu saat keberuntungan
hidupmu akan datang,” lanjut Afika tak menghiraukan gumamanku.
Siang
itu, kami melanjutkan liburan kami, sesekali aku melirik ke arah Calvin yang
selalu bersama-sama dengan Stella. Meski mulutku mengakui aku tak menyukainya,
namun dia terlihat seperti benda yang kusuka yang akan kulirik tiap saat ada
kesempatan. “Nelia, mau main voli?” tanya Revi. “Tapi..yang lain mana?”
tanyaku. “Iya, tunggu saja dulu. Omong-omong bisa antarkan aku ke super market
di sana? Aku mau membeli minuman,” pintanya. “baiklah,” kataku menyetujui. Kami
sudah beberapa meter dari pantai, namun bukan super market yang kutemui, sebuah
tebing yang indah. Revi membalikkan badan dan mengatakan sesuatu padaku,
“Nelia..sebenarnya, aku telah
menyukaimu sejak lama”
“eh?”
“jadi, apa kau juga merasakan hal
yang sama terhadapku?”
“Aku..aku tak tahu”
Revi terdiam sejenak. Sepertinya ia berpikir. Aku tentunya
hanya diam saja, kemudian, mulutku mengeluarkan kata-kata yang sebenarnya tak
ingin kuucapkan. “Sesungguhnya..aku menyukai orang lain.” Revi tersentak kaget.
“Siapa?” tanyanya. “Aku..aku tak menyukai siapapun,” kataku setelah tersadar
kemudian menutup mulutku. Maaf, maafkan aku. Aku tak bisa mengakuinya. Aku tak
ingin menyakiti temanku sendiri. Tidak Calvin maupun Stella. Aku akan
melepaskannya meski aku ingin menjadi diriku sendiri.
Tag :// Konten Tambahan,
Tag :// Life's Fortune,
Tag :// Ongoing,
Tag :// Original Character,
Tag :// Story
I looked at my way, I saw two shadows standing
far from me.
I walked closer and closer and now I was
infront of them.
I examined them.
I saw it, they seemed so sweet together.
But I never know why, I felt my heart beat
faster, my soul burned so as my feelings.
One of that shadows who was taller asked me,
“Have you know it?” then it kissed the other shadow.
My heart was always hurt everytime that shadow
kissed the other one.
I answered it, “Yes, I have,” I do know what
happen with both of that shadows.
I just don’t know what happen with me myself.
I looked behind, “Please, stop it!” my heart
said. “It hurts,” my feeling shouted.
I couldn’t control them all, my heart, my
feeling.
I just cried when I saw them, louder, louder.
I couldn’t stand myself.
The sky became darker and now it was blured.
The black dove had come to me.
For some times, I kept myself inside.
Until I saw a light, I didn’t know where that
light from.
I walked closer to that light.
I touched that light and the black got away
from me.
And again now I saw a shadow, it was the same
shadow, the taller one.
I saw that shadow opened it arms for me,
wanting to hug me.
My feelings was happy.
I ran toward it I reached its hand, I felt its
warmth.
I felt like I could fly, I was happy, yes I
was.
But my feelings and heart were always confusing.
I didn’t want to understand them, let it be
the secret of my life.
Tag :// Konten Tambahan
Tetesan air hujan membasahi pipiku. Aku menatap kembali ke langit yang menangis. Tetesan demi tetesan terus berjatuhan, namun aku tak menghiraukannya. Aku tetap berjalan terus dan terus. Terkadang, aku juga berpikir apakan hidupku akan berubah?
“Bisakah
kau mendengarku?” tiba-tiba aku mendengar sebuah suara. Namun awalnya aku hanya
menghiraukannya, lalu suara itu terdengar lagi, kini lebih dekat dan lebih
jelas, “Bisakah kau mendengarku?”
“Siapa kau?”
“Kakak”
“Siapa kau? keluarlah”
“おねえーちゃん”[Onee-chan (kakak) ]
Aku tersentak kaget. Seorang anak kecil
berdiri di depanku. Dia tersenyum aneh, wajahnya pucat dan dia membawa sebuah
teddy bear. Dia melangkah menghampiriku lebih dekat dan mengulurkan tangannya,
memberikan boneka itu padaku. Entah apa yang terjadi, aku menerima boneka itu.
Anak kecil itupun tertawa senang dan berlar meninggalkanku. Akhirnya aku
memutuskan untuk membawa boneka itu pulang.
Malam
hari mulai turun dan bulan mulai meninggi. Malam itu aku merasa taknyenyak
dalam tidur, sampai pada pukul 03.04 dini hari, aku terbangun. Boneka teddy
bear yang awalanya kutaruh di sebelahku menghilang. Aku turun dari tempat
tidur, bermaksud untuk mencarinya, namun nihil. Aku tak menemukannya di
mana-mana. Tiba-tiba, aku mendengar suara seorang anak kecil lagi. Dia menggunakan bahasa
Jepang.
“おねえーちゃん。これが私。おねえーちゃん。身ってください。これが私。大ジョブです”
[“onee-chan. Kore ga watashi. Onee-chan.
Mitte kudasai. Kore ga watashi. Daijobu desu” (“kakak. Ini aku. Kakak.
Lihatlah. Ini aku. Jangan khawatir.)]
“Hentikan!”
Aku berteriak. Suara anak kecil itu
berhenti. Namun hal aneh mulai terjadi. Di seuah sudut kamarku aku melihat
sosok tubuh anak kecil mulai mendekat.
“おねえーちゃん?”
“Pergi! Apa yang kau inginkan?”
“Kakak. Ikutlah denganku,” kata gadis itu
tersenyum aneh. Aku memberanikan diri untuk mendekatinya. Sekali lagi gadis itu
tertawa dan dia muli meloncat keluar jendela. “Hey!” aku berteriak. Bagaimana
mungkin seorang anak kecil meloncat keluar jendela seperti itu. Ia tak mungkin
hidup, apalagi ini jendela lantai dua. Aku melihat ke bawah jendela. Anak kecil
itu tak ada. Aku hanya berpikir kemana dia pergi. Belum sempat aku membalik
badan, anak kecil itu sudah berdiri di belakangku dan selanjutnya mendorongku
ke bawah. Aku hanya bisa melihat ke jendela di tempat gadis itu memperlihatkan
wajah dan senyumnya, hal lain yang kulihat adalah gadis itu menjatuhkan sebuah
batu yang lumayan besar ke arahku bersamaan dengan teddy bearnya dan semua
berubah menjadi hitam.
“Kapan
di akan terbangun?” – “diamlah!” – “Makhluk itu benar-benar membuat masalah” –
“Diamlah!” –“baik,baik..tak perlu menyentak,” aku mendengar dua orang sedang
berbicara. Cahaya remang-remang memasuki mataku dan aku mulai melihat
sosok-sosok yang sedang berbicara. Kini aku benar-benar membuka mataku.
“Hey,hey dia telah bangun! Lihat, dia sudah bangun!” – “Ya, ya. Terserah kau
saja,” dan seseorang dari mereka berdua cemberut. “Umm... Siapa kalian?”
tanyaku. “Kami? Oh maksudmu aku? Aku adalah seorang aktris yang akan memenuhi
dunia dengan wajah cantikku! Dunia adalah panggung pertunjukan!!” Aku
melihatnya dengan ekspresi bingung.
“Permisi, abaikan saja dia. Perkenalkan, aku
Carmellos Wintersmith. Kami kemari untuk mengantarmu ke dunia Afterlife”
“Aftelife? Maksudmu?”
“Hantu itu telah membunuhmu”
“Hantu?”
“Ya. Yui, begitu kami menyebutnya. Dia
sangat pintar mengatur strategi untuk membunuh manusia”
“Apa? Maksudmu anak kecil itu?”
“Ya, begitulah. Baiklah, ayo naik ke kapal
dan kita berangkat! Dunia telah menungguku~” kata seorang yang lain sambil
mengibaskan rambut merah panjangnya. Aku hanya diam dan mengikuti perinthnya.
Kami
bertiga sudah lama menaiki kapal itu dan telah mendengar semua celotehan pria
umm.. wanita? Atau apa lah jenis kelaminnya itu. Namun, jujur saja, aku belum
mengetahui nama orang berkepala merah itu. “Umm..maaf, tapi bolehkah aku
bertanya? Apa kalian? Maksudku apa kalian juga hantu seperti Yui atau..” – “Oh,
nona.. Kami adalah malaikat kematian. Kami akan menjemputmu ke dunia Afterlife
saat kau mati~” Kata orang berkepala merah itu. “Destin, kumohon hentikan,”
kata Carmellos. Destin? Kurasa itu namanya. Beberapa jam mungkin telah berlalu
dan aku mulai melihat daratan. “Kita akan sampai,” kata Carmellos. Kami pun
berlabuh di salah satu pinggiran danau di pulau kaki gunung itu. Kabut tebal
menutupi permukaan danau. “Ikuti aku,” kata Carmellos. Aku tak berkata
sedikitpun, hanya mengikuti langkahnya.
Kami
telah berjalan cukup jauh hingga mencapai sebuah bangunan gedung yang terlihat
tua dengan lampu-lampu berwarna kuning di sekitarnya. “Tempat apa ini?”
tanyaku. “The God of Death’s Office.” Jawab Carmellos. “maksudnya?” – “Oh,
nona..setiap orang yang dikirim ke tempat ini akan diseleksi untuk masuk ke
dunia Afterlife~” jawab Destin. “maksudmu kita belum berada di dunia
afterlife?” – “Ah..kau harus bersabar, nona. Semua ada wakrunya~” lanjut
Destin. “Diamlah kalian,” kata Carmellos. Serentak kami berduapun diam.
“Apa
kalian telah membawanya?” tanya seseorang dari ruangan di seberang kami. “Ya.
Dia di sini.” Seketika itu juga, seseorang keluar dari ruangan itu. Ia mengenakan
baju seba hitam. “Ah..Reiko Nocrabell. Bagaimana? Apa kau suka tempat ini?”
tanya orang misterius itu. “Oh..uh..ya. Bagaimana anda bisa mengetahui namaku?”
– “Reiko, Reiko kecil..kami adalah malaikat kematian. Bagaimana kami bisa tidak
mengetahui namamu?” tanya orang itu balik.
“Uh..jadi..”
“Jadi, mari kita selesaikan ini. Yui
membunuhmu? Oh, kau sudah menjadi korban yang kesekian. Kami, khususnya aku
akan menanyaimu beberapa pertanyaan.”
“Tunggu! Aku punya satu pertanyaan,”
“Baiklah”
“Ada beberapa hal yang belum kuselesaikan”
“Maksudmu?”
“Ya..kau tahu?Seperti sebuah cita-cita?
Balas dendam? Atau semacamnya?”
“Biar kuberitahu, kau bisa melakukan itu
semua. Tapi kau tidak akan kembali ke sana dengan tubuhmu”
“Maksudmu?”
“Kau akan menjadi hantu”
“T-tapi..aku aku belum siap dengan dunia
Afterlife dan segalanya itu.”
“Itu bukan masalah kami”
“Tak bisakah kau melakukan sesuatu?”
“Tidak”
“Kumohon. Bantulah aku. Aku belum ingin
mati. Aku akan melakukan apapun”
“Tidak bisa”
“Ayolah. Apa kau ingin imbalan? Sebutkan
saja!”
“Imbalan tak ada gunanya bagi malaikat
kematian seperti kami”
“Kumohon..”
Pria misterius itu diam sejenak, aku tak
berhenti menatapnya. Akhirnya dia memutuskan; “Ada sebuah cara agar kau dapat
kembali ke tubuh lamamu. Pergilah ke kota di seberang pulau ini. Temui orang
yang bernama Van Hellen dan dia akan membantumu” – “Terimakasih,” jawabku
dengan suara riang. “Tapi..” lanjutnya. “jangan sampai dia berhasil menjebakmu
atau menaklukanmu” –“maksudmu?” – “kau akan mengerti, Reiko. Secepatnya. Lebih
baik kau menyusun strategi untuk itu.” Aku diam memikirkan kata-kata orang
misterius itu yang kini telah pergi ke balik ruangan itu lagi. “Kenapa kita tak
berangkat?” tanya Destin. Dengan ketdakpastian, aku menganggukkan kepalaku.
Beberapa
jam mungkin telah berlalu. Setelah lama menaiki kapal tua itu, akhirnya kami
sampai di sebuah pulau untuk dilabuhi. “Inikah tempatnya?” – “Hmm..kurasa iya~”
jawab Destin. “Ayolah kalian. Cepat! Aku masih mempunyai pekerjaan lain,” kata
Carmellos yang sudah berjalan lebih dulu. “Hey, Carmellos? Apa kau pernah ke
tempat ini?” – “ya. Beberapa waktu lalu ada juga arwah yang masih ingin kembali
ke tubuhnya” – “Lalu apa yang terjadi padanya?” – “Dia tertransfer ke dimensi
lain” – “Bagaimna bisa?” – “itulah kenapa kita harus bisa menaklukkan
pikirannya,” aku hanya diam. Bagaimana aku bisa menaklukkan pikrannya? Aku
bahkan tak tau bagaimana Van Hellen. “Kita sampai,” kata Caemellos. Aku
meneliti bangunan itu baik baik. Besar, kotor, tua, dan bercat hitam dari pagar
sampai bangunannya. “Inikah?” tanyaku tak percaya. “Ayo masuk,” kata Carmellos
mengabaikan pertanyaanku.
Pikiranku
terpaku, Bagaimana aku bisa menaklukkan
pikrannya? Aku bahkan tak tau bagaimana Van Hellen. Kakiku mulai gemetar
melangkah ke rumah tua itu. Aku sampai di depan pintunya dan Destin membunyikan
bel. Pintu besar itu langsung terbuka. Tanpa berkata apa-apa, Carmellos
memasuki bangunan itu, diikuti dengan Destin dan aku yang terakhir. Aku melihat
sosok manusia berdiri di ujung tangga mengenakan jubah hitam panjang. Aku
kemudian berbisisk pada Destin, “Apa itu Van Hellen?” – “Dimana? Aku tak
melihat apapun,”jawabnya. “Hati-hati. Van Hellen memiliki banyak jebakan di
rumahnya. Itulah mengapa kita harus bisa mengalahkan pikiran dan menyusun
strategi untuk melewatinya,” jelas Carmellos. Kata-kata Carmellos menyadarkanku
bahwa yang kulihat tadi hanyalah ilusi. “Jangan dengarkan suara apapun, jangan
ragu-ragu dengan langkahmu, jangan percaya pada penglihatanmu, jangan percaya
pada pendengaranmu dan satu lagi yang paling penting, berhati-hatilah, jangan
lengah, siapapun bisa terkirim ke dimensi lain termasuk juga kita, malaikat
kematian,” jelas Carmellos. “Semua yang kita lihat di sini hanyalah ilusi. Van
Hellen yang asli ada di ruangan tersembunyi,” lanjutnya.
Beberapa
menit kami berjalan, tiba-tiba terdengar suara alunan musik. “Jangan dengarkan
alunan itu,” kata Carmellos. Aku langsung menutup telingaku, berusaha
mengbaikan alunan itu. Sudah lama kami bertiga berjalan berkeliling di dalam
rumah besar itu. Membuka tiap-tiap pintu di dinding-dinging tiap tingkatnya
sampai akhirnya, kami menemukan sebuah pintu besar tersendiri di tingkat paling
atas rumah itu. “Ayo masuk,” kata Carmellos. Aku dan Destin mengikutinya dari
belakang.
“Wah..wah..wah..siapa
yang datang? Selamat untuk kalian,” kata seseorang setelah kami memasuki
ruangan itu. “Van Hellen?” pikirku. “Benar sekali, nona,” kata orang itu tadi.
“Apa? Kau bisa membaca pikiranku?”
“Tidak. Aku hanya membaca ekspresimu. Apa
yang kau inginkan?”
“Aku..aku ingin hidup kembali”
“Hidup kembali? Heheheh..menurutmu semudah
itu?”
Aku hanya diam, tak tahu harus menjawab
apa. Suasana menjadi hening, sampai Van Hellen berbicara lagi,”Baiklah,
baiklah. Heheheh, aku akan membantumu,” – “Kau tidak akan menipuku,kan?” tanyaku.
“Wah, kau memang gadis yang pintar. Aku sedang berbaik hati hari ini, jadi
jangan menganggapku akan membohongimu. Heheheh.” Tentu aku tidak begitu percaya
pada perkataannya, namun bagaimanapun juga aku tetap mengandalkan kemampuannya.
Van Hellen berjalan mundur dan duduk di kursi besarnya, kemudian membuka sebuah
buku. Angin mulai bertiup kencang seakan ingin membawaku. Pandanganku mulai
kabur.
“Reiko!
Reiko! Cepatlah! Kau akan terlambat!” aku mendengar ibuku berteriak. Aku
langsung membuka mataku. “Apa? Apa itu tadi mimpi? Setiap halnya terasa nyata”
pikirku. Kulihat ke samping tempat tidurku, tak ada boneka teddy bear di sana.
Aku cepat-cepat memeriksa ke luar jendela, namun tidak mendapati apapun. Aku
makin bingung apa yang terjadi, namun biarlah bahkan pengarang cerita inipun
bingung mau dibawa kemana cerita ini. :P
Hey! I think it have been a while since I post my draw.. here's some of them which I decided to sell :)
Mentari bersinar menyinari
Dedaunan jatuh menari-nari
Biarkan aku tetap disini
mengabadikan semua yang telah terjadi
Hey, katakan ini bukan mimpi
Katakan kau tak akan pergi
Kau tahu, aku belum lari
Aku belum melupakan hari-hari yang terlewati
Di dalam surga musim gugur ini
Semuanya terlihat berseri
Termasuk senyumanmu yang abadi
ku tak akan pernah lupa akan hal ini
Ijinkan aku untuk tetap disini
Dimana kita dapat berbaur
Biarkan aku merasa
Dedaunan jatuh menari-nari
Biarkan aku tetap disini
mengabadikan semua yang telah terjadi
Hey, katakan ini bukan mimpi
Katakan kau tak akan pergi
Kau tahu, aku belum lari
Aku belum melupakan hari-hari yang terlewati
Di dalam surga musim gugur ini
Semuanya terlihat berseri
Termasuk senyumanmu yang abadi
ku tak akan pernah lupa akan hal ini
Ijinkan aku untuk tetap disini
Dimana kita dapat berbaur
Biarkan aku merasa
Puisi 5
Bisakah kau mendengarku?
Hal-hal buruk telah terjadi
Hey, naikkan kepalamu
Ikutlah dengan kami
Alunkan harmoni kebanggaan
Kita tak ingin ini hanya kenangan, bukan?
Alunkanlah nyanyian persahabatan
Biarkanlah burung-burung bernyanyian
Teman, jangan lupakan lagu ini
Alunan melodi indah merancang harmoni
Menenangkan jiwa dan hati
Jangan lupakan hari ini
Esok mungkin akan berbeda
Mungkin kita tak akan bersama
Namun, tetaplah alunkan melodi ini
Buatlah harmoni hidup kembali
Hal-hal buruk telah terjadi
Hey, naikkan kepalamu
Ikutlah dengan kami
Alunkan harmoni kebanggaan
Kita tak ingin ini hanya kenangan, bukan?
Alunkanlah nyanyian persahabatan
Biarkanlah burung-burung bernyanyian
Teman, jangan lupakan lagu ini
Alunan melodi indah merancang harmoni
Menenangkan jiwa dan hati
Jangan lupakan hari ini
Esok mungkin akan berbeda
Mungkin kita tak akan bersama
Namun, tetaplah alunkan melodi ini
Buatlah harmoni hidup kembali
Puisi 4
Aku berdiri di sini
Meratapi hari-hari sepi
Tak ada yang bisa kuberi
Untuk mengganti semua ini
Kutatap langit biru
Dihiasi awan putih kelabu
Tiada angin bederu
Seperti badai telah berlalu
Di sini aku sendiri
Bersama dengan awan kelabu
Aku tak pernah mengerti
Entah kemana akan kubawa hidupku
Air mata langit biru mulai terjatuh manis
Menemaniku melupakan mimpi burukku
Hey, janganlah menangis
Temani aku dengan warna birumu
Meratapi hari-hari sepi
Tak ada yang bisa kuberi
Untuk mengganti semua ini
Kutatap langit biru
Dihiasi awan putih kelabu
Tiada angin bederu
Seperti badai telah berlalu
Di sini aku sendiri
Bersama dengan awan kelabu
Aku tak pernah mengerti
Entah kemana akan kubawa hidupku
Air mata langit biru mulai terjatuh manis
Menemaniku melupakan mimpi burukku
Hey, janganlah menangis
Temani aku dengan warna birumu
Puisi 3
Kututup kembali mataku
menginat janji-janji itu
janji yang perah kita bersama
Bukankah kau tak akan mengingkarinya?
Aku akan melupakan jurang kegelapan di antara kita
Aku akan berjalan maju menuju masa selanjutnya
kau tak perlu ragu
Aku tak akan melupakan janji itu
Aku mungkin telah berada jauh darimu
Namun aku tak akan meninggalkanmu
aku tak akan melupakan segalanya
Aku tak ingin melupakan kenangan kita
Era kita sudah akan berlalu
Aku tahu mungkin kita tak akan bersama lagi
Namun, selama suaraku masih meraihmu
Aku percaya keajaiban akan terjadi
Puisi 2
Malam telah berlalu
Namun esok membawa kesedihan baru
Untukku yang dihantui masa lalu
Seperti angin badai yang menderu
Mimpiku telah tiada
Telah hancur tak bersisa
Meski dunia selalu terbuka
Namun yang kurasa hanyalah putus asa
Akankah aku menemukan mimpiku yang hilang?
Sewaktu-waktu aku merindukannya lagi
Aku hanyalah anak bebek yang sembunyi di alang-alang
Ketakutanku telah menjadi
Aku tak ingin sedih lagi
Aku tak ingin terluka lagi
Tapi,
Akankah aku berhasil menemukan mimpiku kembali?
Puisi 1